PolaKehidupan

Pola hidup seorang mukmin

Firman Allah Swt,
لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما أتاكم والله لا يحب كل مختال فخور
“ (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlau gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. Al-Hadid (57): 23)

Materi Hadits

حدثنا سليمان بن حرب حدثنا شعبة عن عدي بن ثابت عن أبي حازم عن أبي هريرة أن رجلا كان يأكل أكلا كثيرا فأسلم, فكان يأكل أكلا قليلا فذكر ذلك للنبي ص فقال: إن المؤمن يأكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء- رواه البخاري فى كتاب الأطعمة باب المؤمن يأكل فى معى واحد.
Terjemah Hadits
Hadits diterima dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki yang terbiasa makan banyak, tatkala dia masuk Islam, maka ia (mengurangi porsi) makan sedikit, lalu hal itu diadukan kepada Rasulullah Saw, lalu beliau bersabda, “ sesungguhnya orang mukmin itu makan pada satu wadah sedangkan orang kafir makan dalam tujuh wadah.”

Takhrij Hadits.
Hadits dengan matan sebagaimana diatas direkam oleh Imam Bukhari dalam shohihnya kitab al-ath’imah (makanan-makanan) Bab al-Mu’min ya’kulu fi mi’an wahidin (orang mukmin makan pada satu wadah) dengan nomor hadits 5397 dari jalan periwayatan sahabat Abu Hurairah r.a. beliau berkomentar, dalam sanad tersebut terdapat Abu Hazm yaitu Salman (dengan disukunkan lam) al-Asyja’i, bukan Salamah bin Dinar al-Zahid yang dia lebih muda dari al-Asyja’i dan tidak bertemu dengan Abu Hurairah.
Hadits senada terdapat juga dalam bab yang sama dengan penomoran 5393, 5394, 5395, dan 5396.
Imam Muslim mencatatnya dalam kitab al-Asyribah (minuman-minuman) bab al-mu’min ya’kulu fi mi’an wahidin wal kafiru ya’kulu fi sab’ati am’ain (orang mukmin makan pada satu wadah sedangkan orang kafir makan pada tujuh wadah) dengan nomor hadits 2060, 2061, 2062, 2063. Sunan Tirmidziy dalam Abwab al-ath’imah (bab makanan-makanan) bab ma ja’a annal mu’min ya’kulu fi mi’an wahidin (tentang orang mukmin yang makan pada satu wadah) dengan nomor hadits 1878 dan 1879. Hadits nomor 1878 beliau komentari dengan hasan shohih, sedangkan hadits 1879 beliau komentari dengan hasan ghorib. Matan kedua hadits riwayat Tirmidziy diatas senada dengan riwayat Bukhari diatas.
Imam Malik mencatat hadits tersebut dalam kitab sifat al-Nabi Saw (Pribadi Nabi Saw) bab ma ja’a fi mi’al kafir (hal-hal yang berkenaan dengan wadah orang kafir) dengan nomor hadits 9 dan 10. Imam al-Darimi mencatatnya dalam kitab Ath’imah (makanan-makanan) bab al-mukmin ya’kulu fi mi’an wahidin (orang mukmin makan dalam satu wadah) dengan hadits nomor 2040 dan 2043. hadits tersebut juga tercatat dalam Musnad Abdur Razak pada bab al-mukmin ya’kulu fi mi’an wahidin (orang mukmin makan pada satu wadah) dengan nomor hadits 19558 dan 19559.

Latar Belakang Hadits (Asbab al-Wurud)
Dalam riwayat Muslim dari jalan Abu Sholih dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi kedatangan tamu orang kafir, lalu dihidangkan kepadanya air susu hasil perahan dari satu ekor kambing, lalu tamu tersebut meminumnya, kemudian dia minum lagi kemudian lagi hingga mencapai perahan tujuh ekor kambing. Tatkala pagi harinya dan tamu tersebut masuk Islam lalu dihidangkan kembali satu perahan susu satu ekor kambing, lalu dia meminumnya, kemudian dihidangkan kembali perahan yang kedua tetapi dia tidak menyentuhnya. Orang tersebut adalah Tsumamah bin Atsal, ada yang mengatakan Jahjah al-Ghifari, dan ada juga yang mengatakan Nadlrah bin Abi Nadlrah al-Ghifari. Wallahu a’lam.

Biografi Shahabat
Abu Hurairah (w. 57 H/ 676 M) adalah Amir bin Abd Dzi Syar bin Thorif bin Itab bin Abi Sha’b bin Munabbah bin Sa’ad bin Tsa’labah bin Salim bin Fahm bin Ghonam bin Daus bin Adnan bin Abdillah bin Zahran bin Ka’ab ad-Dausi. Dalam riwayat lain ada yang mengatakan, beliau adalah Abdurrahman bin Shakhr. Berasal dari kabilah Azad di Yaman. Ia masuk Islam pada tahun penaklukan Khaibar (7 H/ 628 M). ia tinggal bersama 70 sahabat yang miskin di serambi masjid (Ahlu Suffah). Ia juga menjadi pelayan Rasulullah Saw sehingga mempunyai banyak kesempatan mendengar ucapan dan melihat perbuatan Rasul Saw. Beliau mengabdi dan menemani Rasul Saw selama empat tahun, sejak ia masuk Islam sampai Nabi wafat. Ia membagi malamnya atas tiga bagian; untuk membaca alqur’an, untuk tidur dan keluarga serta untuk mengulang-ulang hadits. Pada masakhalifah Umar bin Khatab, ia ditunjuk menjadi gubernur di Bahrein (21-23 H).
Kelebihan Abu Hurairah dalam menghafal hadits diakui oleh banyak ulama dan ia digolongkan sebagai salah seorang sahabat dari tujuh sahabat yang banyak menghafal hadits, yaitu Abu Hurairah, Abdullah bin Umar bin Khatab, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah dan Abu Said al-Khudri. Dalam musnad Baqi bin Mukhallad terdapat 5.374 hadits yang berasal dari Abu Hurairah. Hadits-hadits dari Abu Hurairah yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim berjumlah 325 hadits, oleh Bukhari sendiri sebanyak 93 hadits dan oleh Muslim sendiri sebanyak 189 hadits ( al-Ishabah, Ibnu Hajar, jil IV dan Ensiklopedi Islam)

Syarah Mufradat
المعى والمعى ج أمعاء و المعاء ج أمعية : مصران البطن , usus atau berkenaan dengan perut (al-munjid 769 dan mu’jam al-wasith 914).

Fiqh Hadits
Dalam konsep hidup seorang muslim, kehidupan di dunia bukan merupakan tujuan akhir dari perjalanannya, melainkan sekedar transit untuk mempersiapkan bekal demi perjalanan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan akhirat. Hal ini tercermin dari cara pandang dan penyikapannya terhadap dunia itu sendiri. Bahkan Rasulullah Saw berpesan agar seorang muslim harus memposisikan diri sebagai orang yang asing atau hanya sekedar menjadi seorang penyeberang jalan, yang tidak pernah terlena oleh gemerlapnya tempat persinggahan dan indahnya lampu jalanan. Imam al-Ghazali mengibaratkan dunia ini tidak lebih dari sekedar tempat bercocok tanam yang akan ditunai hasilnya di akhirat nanti. Alqur’an mendefenisikan kehidupan dunia merupakan permainan dan senda gurau belaka (Qs. Al-Ankabut (29):64). Meskipun demikian, harus ada penyikapan yang proporsional, dalam artian, tujuan akhir bukan berarti menafikan akan wasilah yang menjadi penghubungnya (Qs. Al-Qashash (28): 77).
Hadits diatas yang menjadi pembahasan penulis mengisyaratkan akan adanya perbedaan antara orang muslim dan orang kafir dalam menyikapi kehidupan dunia, sehingga tampak dari cara makannya. Nabi Saw mencela seorang muslim yang memenuhi seluruh isi perutnya dengan makanan, hendaknya perut tersebut dibagi menjadi tiga bagian yang terdiri dari makanan, air dan nafas (Hr. Tirmidziy dengan derajat hasan). Dalam haditsnya yang lain, Nabi bersabda bahwa “Kami adalah suatu kaum, yang tidak akan makan kecuali setelah merasa lapar dan berhenti sebelum kekenyangan”. Pola hidup seperti ini ternyata dapat kita teladani dari Nabi Saw sendiri dan keluarganya. Sayyidah Aisyah meriwayatkan,

ما شبع أل محمد S من خبز شعير يومين متتابعين حتى قبض رسول الله S – متفق عليه.
“ Keluarga Muhammad Saw tidak pernah dikenyangkan oleh roti yang terbuat dari gandum (kualitas baik) selama dua hari berturut-turut hingga Rasulullah Saw wafat” (Hr, Bukhari dan Muslim).
Bahkan dalam riwayat lain, Nabi Saw wafat dengan baju besi yang tergadai di tangan orang yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum (Hr. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar memberikan beberapa kemungkinan tentang maksud hadits yang dijadikan materi pokok makalah penulis, diantaranya adalah bahwa seorang muslim itu sangat sedikit keinginannya akan makanan sehingga Allah memberikan berkah dari makanan yang sedikit tersebut sehingga merasa kenyang dengannya,berbeda dengan orang kafir yang sangat tamak terhadap makanan sehingga tidak pernah merasa cukup dengan makanan yang sedikit.
Imam Nawawi dalam kitabnya, Riyadhus sholihin bab keutamaan zuhud akan dunia serta anjuran untuk sederhana, menyertakan satu hadits yang bersumber dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya akan dicintai Allah dan juga sekaligus dicintai oleh manusia. Nabi Menjawab,

ازهد فى الدنيا يحبك الله, وازهد فيما عند الناس يحبك الناس
“berlaku zuhudlah akan dunia, Allah akan mencintaimu dan berlaku zuhudlah akan apa yang dimiliki oleh manusia niscaya kamu akan dicintai oleh manusia”. (Hr. Ibnu Majah dengan derajat hasan dan beberapa jalan periwayatan lainnya dengan derajat yang sama).
Zuhud secara bahasa mempunyai pengertian meninggalkan/ berpaling dari sesuatu dikarenakan kehinaannya atau karena sepele (tidak berarti bagi dirinya), sehingga tatkala dikatakan, zuhud akan dunia artinya adalah meninggalkan yang halal karena takut akan hisab-Nya serta meninggalkan yang haram karena takut akan siksa-Nya (al-Mu’jam al-Wasith hal 418). Implementasi dari sikap zuhud ini tercermin dari penyikapannya akan kehidupan dunia sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Qs.al-Hadid ayat 23 diatas.

परा Pelukis

Hadis ttg para pelukis:
“Orang yang akan mendapat siksaan yang paling pedih di Hari Kiamat adalah orang-orang yang membuat gambar dan patung (al-mushawwirun).”
Dalam suasana itu ketika seni menggambar sudah ada sejak masa kenabian, terdapat sebagian hadits-hadits yang mengharamkan. Tidak heran jika hadits-hadits itu bersikap keras dalam masalah tersebut, meskipun kekerasan di dalam membuat gambar itu lebih banyak daripada kekerasan mengambilnya, karena sebagian gambar yang diharamkan untuk membuatnya diperbolehkan untuk menggunakannya. Dalam hal ini untuk penggunaan yang sepele, seperti untuk gorden, bantal dan lainnya sebagaimana yang kita baca dalam haditsnya ‘Aisyah.
Dan di antara hadits yang diriwayatkan mengenai larangan menggambar adalah hadits yang diriwayatkan oleh Shahihain dari Ibnu Abbas, marfu’, “Setiap pelukis itu di neraka, yang akan menjadikan nyawa untuk setiap gambar yang ia buat, lalu akan menyiksanya di neraka Jahanam.”
Di dalam riwayat Imam Bukhari dari Sa’id bin Abil Hasan ia berkata, “Aku pernah berada di sisi Ibnu Abbas ra, tiba-tiba datang kepadanya seorang laki-laki maka orang itu berkata, “Wahai Ibnu Abbas, sesungguhnya aku ini adalah seseorang yang sumber ma’isyah saya dan kerajinan tanganku, dan sesungguhnya aku tukang membuat lukisan-lukisan ini.” Maka Ibnu Abbas berkata, “Saya tidak akan berbicara denganmu kecuali dengan apa yang pernah saya dengar dari Rasulullah SAW beliau bersabda. “Barangsiapa melukis suatu gambar, sesungguhnya Allah akan menyiksanya, sehingga akan diberikan nyawa padanya, sementara dia tidak bisa meniupkan ruh ke dalamnya selama-lamanya. Maka orang itu kemudian merasa sakit hati. Berkata Ibnu Abbas, “Celaka kamu, jika kamu tetap tidak mau kecuali harus membuat juga, maka buatlah gambar pohon, dan segala sesuatu yang tidak bernyawa.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Hayyan bin Hushain, ia berkata, “Berkata kepadaku Ali bin Abi Thalib RA, “Saya akan menyampaikan sesuatu kepadamu sebagaimana Rasulullah SAW telah menyampaikan sesuatu padaku, yaitu hendaklah kamu tidak membiarkan gambar kecuali kamu menghapusnya. dan tidak membiarkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata, Jibril pernah berjanji kepada Rasulullah SAW bahwa ia akan datang pada suatu saat yang ditentukan. Maka tibalah saat yang ditentukan itu, tetapi Jibril belum juga tiba. Saat itu Nabi memegang tongkat, maka tongkat itu dilemparkan oleh Nabi dari tangannya, seraya berkata, “Allah dan para utusan-Nya tidak akan mengingkari janji,” kemudian Nabi berpaling, ternyata ada anak anjing di bawah tempat tidur, maka Nabi berkata, “Wahai ‘Aisyah, kapan anjing ini masuk?” Aisyah berkata, “Demi Allah saya tidak tahu, maka Nabi memerintah untuk mengeluarkan anak anjing itu, sehingga datanglah Jibril. Maka Rasulullah SAW berkata, “Engkau telah berjanji kepadaku, maka aku duduk menunggumu, tetapi kamu tidak kunjung datang!” Jibril berkata, “Telah mencegahku anjing yang ada di rumahmu, sesungguhnya kami tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (patung)” (HR. Muslim)
Dengan demikian maka kita mengetahui sesungguhnya ada sejumlah hadits yang membahas tentang menggambar dan gambarnya. Bahkan sedikit, sebagaimana anggapan sebagian ulama yang menulis tentang demikian itu, sungguh telah diriwayatkan oleh sejumlah para sahabat, di antaranya adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Ali, Abu Hurairah yang kesemuanya adalah shahih.
Telah terjadi ikhtilaf (beda pendapat) di kalangan fuqaha’ mengenai masalah menggambar ini berdasarkan hadits-hadits tersebut, dan yang paling keras adalah Imam Nawawi yang telah mengharamkan setiap gambar yang bernyawa, baik manusia atau binatang, baik yang berbentuk atau tidak, baik dijadikan sebagai profesi atau tidak. Tetapi beliau memperbolehkan gambar yang dijadikan sebagai profesi untuk dipergunakan, meskipun pekerjaan menggambarnya tetap haram, seperti orang yang menggambar di gorden, bantal atau yang lainnya.
Akan tetapi para fuqaha’ salaf sebagian ada yang mengatakan bahwa pengharaman itu khusus untuk gambar yang berbentuk, yang ada bayangannya, inilah yang dinamakan patung, karena ini mirip dengan berhala-berhala. Dan ini pula yang dianggap mengungguli ciptaan Allah SWT, karena makhluk yang dicipta oleh Allah itu berbentuk. Allah SWT berfirman,
“Dialah yang membentuk (memberi rupa) kamu di dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya.” (Ali Imran: 6)
Pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Khaththabi, kecuali yang berlebihan, seperti gambar-gambar yang diperjualbelikan berjuta-juta dan lain sebagainya.
Dikecualikan dari gambar yang berbentuk adalah mainan anak-anak seperti boneka yang berbentuk orang, kucing, anjing atau kera, karena itu tidak dimaksudkan untuk diagungkan, dan anak-anak biasanya bermain-main dengan itu.
Dasar dari hal itu adalah hadits ‘Aisyah ra, bahwa ia pernah bermain-main dengan boneka teman-temannya, dan Nabi merasa gembira dengan kedatangan mereka.
Termasuk yang dikecualikan adalah patung-patungan atau gambar yang dibuat dari manisan atau permen dan diperjualbelikan pada musim-musim tertentu, kemudian setelah itu dimakan.
Termasuk juga yang dikecualikan adalah patung-patung yang sudah dirusak bentuknya seperti dipotong kepalanya, sebagaimana tersebut di dalam hadits Jibril as, ia berkata kepada Rasulullah SAW “Perintahkan agar kepala patung itu dipenggal sehingga seperti bentuk pohon”
Adapun patung-patung setengah badan yang dipasang di alun-alun atau di tempat lainnya yaitu patung raja-raja dan para pemimpin, itu tidak keluar dari lingkup larangan, karena masih tetap diagungkan.
Cara Islam di dalam mengabadikan sejarah para pembesar dan para pahlawan itu berbeda dengan cara Barat. Islam mengabadikan mereka dengan penyebutan yang baik, dan sirah (perjalanan hidup) yang baik yang di sampaikan oleh generasi masa lalu kepada generasi kini untuk dijadikan sebagai teladan dan uswah. Dengan demikian para Nabi, sahabat, Imam, pahlawan dan orang-orang rabbani disebut-sebut oleh lesan kita, meskipun tidak di gambar atau dijadikan patung kemudian di pasang di jalan-jalan.
Karena berapa banyak patung-patung yang tidak dikenal oleh manusia, siapakah sebenarnya tokoh yang dipatungkan itu. Seperti contohnya patung “Ladzu Ghali” di jantung Kairo Mesir. Dan berapa banyak patung-patung yang dilewati oleh manusia tetapi justru dilaknat oleh manusia itu sendiri.
GAMBAR FOTOGRAFI


Tidak diragukan lagi, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan menggambar dan melukis yang dilarang adalah tertuju pada gambargambar yang dipahat atau dilukis, sebagaimana yang telah kami terangkan.
Adapun fotografi yang diambil dengan kamera, itu termasuk barang baru yang di masa Rasulullah SAW belum ada, juga di masa salafus shalih. Apakah itu juga termasuk larangan yang dimuat dalam hadits-hadits tersebut di atas?
Bagi para ulama yang mengharuskan larangan itu pada patung-patung yang berbentuk, maka ini tidak termasuk yang diharamkan, terutama yang tidak utuh sempurna (satu badan).
Adapun pendapat ulama lainnya, apakah fotografi itu disamakan dengan lukisan ataukah tidak–karena alasan untuk mengungguli ciptaan Allah–di sini tidak ada, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli ushul.
Sesungguhnya pendapat yang jelas dalam hal ini adalah apa yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad Bakhit (Mufti Mesir) dalam risalahnya “Al Jawaabusy-Syafi fi lbaahatit-Tashwir Al Futugrafi.” Bahwa sesungguhnya fotografi itu adalah pengambilan gambar yang sudah ada. Dia tidak termasuk membuat gambar yang dilarang, karena yang dilarang adalah membuat gambar yang semula belum ada atau belum dibuat sebelumnya untuk mengungguli ciptan Allah SWT. Hal ini tidak ada pada pengambilan gambar dengan alat kamera.”
Ini sebagaimana telah menjadi ketetapan suatu hukum, bahwa esensi gambar itu mempunyai pengaruh di dalam menentukan hukum haram dan tidaknya. Dan tidak ada seorang Muslim pun yang tidak setuju haramnya gambar yang esensinya bertentangan dengan masalah aqidah atau syari’at dan akhlaq. Seperti gambar-gambar wanita telanjang atau setengah telanjang, menampakkan bagian-bagian tubuh wanita yang merangsang, melukis dan menggambarnya di berbagai tempat yang merangsang syahwat dan membangkitkan keinginan terhadap dunia, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah, surat-surat kabar dan gedung-gedung film. Semua itu tidak diragukan keharamannya dan keharaman menggambarnya, keharaman mengedarkan gambar-gambar tersebut, keharaman memasangnya di rumah-rumah, kantor-kantor, majalah-majalah, dan dinding, serta keharaman melihat gambar tersebut.
Termasuk foto yang diharamkan adalah foto-foto atau gambar orang-orang kafir, orang-orang zhalim dan orang-orang fasik, dan wajib bagi seorang Muslim untuk memusuhi mereka dan membenci mereka karena Allah. Maka tidak halal bagi seorang Muslim untuk menggambar atau mengambil gambar seorang pemimpin yang mengingkari wujudnya Allah atau orang musyrik yang menyekutukan Allah. Atau orang Yahudi atau Nasrani yang mengingkari kenabian Muhammad SAW. Atau orang-orang yang mengaku Islam tetapi tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah. Atau orang yang menyebarkan kemaksiatan dan kerusakan di masyarakat.
Termasuk juga gambar-gambar yang melambangkan kekafiran seperti simbol-simbol, berhala-berhala dan lain-lainnya.
KESIMPULAN HUKUM TENTANG GAMBAR (LUKISAN) DAN PARA PELUKISNYA


Di sini bisa kita simpulkan mengenai hukum lukisan dan para pelukisnya secara ringkas sebagai berikut:
A. Jenis lukisan (gambar) yang paling berat dosanya adalah gambar sesuatu yang disembah selain Allah. Ini menjadikan pelukisnya (pemahatnya) menjadi kafir apabila dia mengetahui tujuannya. Dalam hal ini gambar yang berbentuk itu lebih berat lagi dosanya dan pengingkaran kita terhadap-Nya. Juga setiap orang yang menyebarkan gambar itu atau mengagungkannya dengan cara apa pun, maka ia masuk ke dalam dosa itu sejauh keikutsertaannya.
B. Tingkat yang kedua dalam besarnya dosa adalah orang yang menggambar sesuatu yang tidak untuk disembah, tetapi dimaksudkan untuk mengungguli ciptaan Allah SWT. Ini mendekati kekufuran dan dia berkait erat dengan niat orang yang menggambar.
C. Satu tingkatan di bawahnya lagi adalah gambar-gambar yang berbentuk yang tidak disembah, tetapi diagungkan. Seperti gambar raja-raja, para pemimpin dan selain mereka dari tokoh-tokoh yang diabadikan dengan patung dan dipasang di lapangan dan tempat-tempat lainnya. Di sini sama antara yang utuh satu badan atau setengah badan.
D. Tingkatan di bawahnya lagi adalah gambar-gambar yang berbentuk untuk setiap yang bernyawa, yang tidak disucikan dan diagungkan. Ini disepakati haramnya, kecuali mainan anak-anak atau yang dipakai untuk permen.
E. Tingkatan di bawahnya lagi adalah gambar-gambar yang tidak berbentuk, berupa lukisan-lukisan yang diagungkan. Seperti lukisan para pengusaha, pemimpin dan lainnya, terutama yang ditempel atau digantung. Semakin kuat haramnya apabila mereka itu adalah orang-orang zhalim, fasik dan kafir, karena mengagungkan mereka berarti merobohkan Islam.
F. Tingkatan di bawahnya lagi adalah gambar-gambar yang tidak berbentuk, mempunyai nyawa yang tidak diagungkan, tetapi sekedar untuk kemewahan. Seperti hiasan dinding, ini hukumnya makruh.
G. Adapun gambar-gambar yang tidak bernyawa seperti pohon, kurma, lautan, kapal, gunung-gunung, awan dan sejenisnya dari pemandangan alam maka tidak berdosa bagi orang yang menggambarnya atau memasangnya, selama tidak mengganggu ketaatan atau tidak untuk kemewahan yang dimakruhkan.
H. Adapun fotografi, pada dasarnya boleh, selama foto itu tidak diharamkan. Kecuali kalau sampai mengkultuskan seseorang, terutama dari orang-orang kafir atau fasik, Komunis dan para artis yang melecehkan nilai-nilai ajaran Islam.
I. Terakhir, sesungguhnya patung-patung dan lukisan-lukisan yang diharamkan atau dimakruhkan, apabila diubah bentuknya atau dihinakan, maka berubah dari lingkup haram dan makruh ke lingkup halal. Seperti gambar-gambar di kain keset yang diinjak-injak oleh kaki dan sandal.
BEBERAPA MODEL PENAKWILAN


Di antara para ulama, ada sebagian yang mencoba menakwilkan hadits-hadits shahih tentang haramnya gambar dan mengambilnya agar mereka bisa mengatakan itu semua diperbolehkan, sampai yang berbentuk sekalipun.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Abu ‘Ali Al Farisi di dalam tafsirnya, dari orang yang memahami bahwa kata-kata “Al Mushawwirin” dalam hadits tersebut maksudnya adalah orang-orang yang membuat gambar yang berbentuk, yang menyerupai ciptaan Allah SWT. Ini dikemukakan oleh Abu Ali Al Farisi di dalam kitabnya Al Hujjah. Pendapat ini berlebihan dan tidak kuat.
Sebagaimana juga orang yang menyandarkan kepada apa yang diperbolehkan bagi Sulaiman AS, yang disebutkan dari dalam Al Qur’an sebagai berikut,
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dan gedung-gedung yang tinggi, dan patung-patung. . .” (Saba’: 1 3)
Mereka yang berpendapat demikian ini tidak menyertakan nasakhnya dalam syari’at kita bahwa dia telah dimansukh (dihapus). Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Ja’far An-Nahhas, dan setelah itu diceritakan juga oleh Makky dalam tafsirnya “Al Hidayah ila Bulughin-Nihaayah.”
Seperti juga orang (ulama) yang memahami larangan di sini sekedar makruh, dan sesungguhnya kekerasan hukum itu teriadi ketika manusia masih dekat dengan masa jahiliyah, padahal sekarang kondisinya telah berubah.
Pendapat ini bathil, karena saat ini masih banyak orang yang beragama Watsani, bahkan berjuta-juta jumlahnya. Memang pendapat ini pernah dikatakan oleh ulama sebelum mereka, tetapi dicounter oleh Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, bahwa pendapat ini tidak benar karena dia menghilangkan alasan yang dikemukakan oleh syari’ (hadits), yaitu mereka telah mengungguli ciptaan Allah SWT. Ibnu Daqiq mengatakan, “Alasan ini berlaku secara terus-menerus secara umum, tidak dibatasi oleh masa, dan bukan wewenang kita untuk mengalihkan makna nash-nash yang jelas dengan makna yang bersifat khayalan.” 27)
Yang jelas bahwa pendapat ini tidak bisa memberi kepuasan kepada akal seorang Muslim, selain itu tidak sesuai dengan peradaban Islam dan kehidupan yang Islami, meskipun hal itu dilakukan oleh sebagian manusia di sebagian negara, sebagaimana yang kita lihat di Istana Merah di Granada, Andalusia (Spanyol).
27) Lihat Al Ahkam Syarah ‘Amdatul Ahkam, Ibnu Daqaiq Al ‘Id: 2/171, 173
ALTERNATIF UMUM BAGI PERADABAN ISLAM


Akan tetapi budaya Islam tidak menghendaki adanya gambar-gambar manusia dan binatang, terutama yang berbentuk dan telanjang. Yang dikehendaki adalah yang selain itu (yang tidak bernyawa) dan sesuai dengan aqidah tauhid, bukan yang berbentuk dan identik dengan patung-patung yang disembah, dengan segala macamnya dan tingkatannya.
Dari sinilah maka seni Islam itu beralih kepada bentuk lain yang juga sangat indah dan menarik, seperti yang nampak pada lukisan-lukisan kaligrafi dan hiasan-hiasan yang dibuat oleh seniman Muslim. Sebagaimana terlihat di masjid-masjid, mushaf, gedung-gedung, rumah-rumah dan tempat lainnya di dinding, atap, pintu dan jendela. Bahkan kadang-kadang di lantai dan pada alat-alat perkakas rumah tangga, sprei, sarung bantal, pakaian dan gagang pedang. Dengan menggunakan bahan-bahan dari batu, marmer, kayu, semen, kulit, kaca, kertas, besi, tembaga dan bahan tambang lainnya, yang beraneka ragam.
Termasuk lukisan/hiasan yang menarik adalah kaligrafi Arab dengan berbagai model, tsuluts, naskh, riq’ah, farisi, diwani, kufi dan lainnya. Kaligrafi itu ditulis oleh para khathath (ahli khat) yang ahli, sehingga terlihat sangat indah dan menarik.
Seni kaligrafi dan hiasan itu banyak dipergunakan untuk penulisan mushaf Al Qur’an dan ornamen di masJid-masjid, sebagaimana yang masih bisa kita lihat di Masjid Nabawi, Masjid Qubbatus-Sakhrah (Palestina) Masjid Jami’ Al Umawi di Damascus Syiria, Masjid Sultan Ahmad dan Maslid As-Sulaimaniyah di Istanbul Turki, Masjid Sultan Hasan dan Jami’ Muhammad Ali di Kairo dan masih banyak lagi masjid di seluruh penjuru dunia Islam yang lainnya.
Terlihat juga seni Islam di bangunan-bangunan megah. Ada ahli sejarah yang mengatakan, “Sesungguhnya seni bangunan itu sebaik-baik yang menampilkan tentang seni Islam, dan ini telah terbukti di berbagai tempat, seperti yang ada di India, ada satu tempat yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang menggambarkan keindahan arsitektur Islam, itulah “Taj Mahal.”
Demikianlah, dilarangnya melukis dan memahat (makhluk hidup) tidak menjadi penyebab terpuruknya dunia seni Islam. Bahkan menjadikan seni Islami memiliki ciri khas yang menarik dan keindahan tersendiri.
Hukum Memasang Gambar Makhluk Bernyawa
Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa hukum dari gambar-gambar dan lukisan-lukisan seni yang dilukis di lembaran-lembaran seperti kertas, pakaian, gordin, dinding, lantai, uang dan sebagainya adalah tidak jelas, kecuali setelah kita ketahui gambar itu sendiri untuk tujuan apa? Dimana dia diletakkan? Bagaimana dia dibuat? Dan apa tujuan pelukisnya?
Apabila lukisan seni itu untuk sesuatu yang disembah selain Allah—seperti Al Masih bagi orang-orang Nasrani dan sapi bagi orang-orang Hindu—dan sebagainya, maka orang yang melukisnya dengan maksud dan tujuan seperti ini tidak lain adalah kafir yang menyebarkan kekafiran dan kesesatan, dan hal ini berlaku baginya ancaman yang keras dari Rasulullah saw, ”Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat ialah para pelukis” (HR. Muslim)
Ath Thabari mengatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah orang yang melukis sesuatu yang disembah selain Allah sedang dia mengetahui dan sengaja. Dengan demikian menjadi kafir. Adapun orang yang melukis dengan tidak bermaksud seperti itu maka dia telah melakukan dosa dengan sebab menggambar itu saja.”
Hal yang hampir sama adalah orang yang menggambar sesuatu yang tidak disembah, tetapi bermaksud menandingi ciptaan Allah, yakni dia beranggapan bahwa dia dapat membuat dan menciptakan model terbaru sebagaimana Allah swt. Maka dengan tujuan seperti ini berarti dia telah keluar dari tujuan agama tauhid, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi, ”Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang hendak menciptakan seperti ciptaan-Ku? Oleh karena itu cobalah dia membuat biji atau atom.”
Diantara seni gambar yang diharamkan ialah melukis atau menggambar orang yang disucikan dalam konteks keagamaan atau diagung-agungkan secara keduniaan :
1. Gambar para nabi, malaikat dan orang-orang shaleh seperti Nabi Ibrahim, Ishaq, Maryam dan lainnya.
2. Gambar para raja, pemimpin, seniman, hal ini lebih kecil dosanya dari yang pertama. Namun dosanya menjadi lebih besar jika yang dilukisnya adalah orang kafir, zhalim atau fasiq.
Adapun gambar-gambar atau lukisan-lukisan yang tidak bernyawa, seperti : tumbuhan, pohon, laut, kapal, gunung, matahari, bulan, bintang dan sebagainya maka tidaklah berdosa bagi orang yang menggambar atau melukisnya.
Apabila ia adalah gambar-gambar bernyawa namun tidak untuk disucikan, diagungkan atau menandingi ciptaan Allah—sebatas untuk keindahan saja—maka ini tidak diharamkan. Dan tentang hal ini terdapat dalam sejumlah hadits shahih.
Imam Muslim meriwayatkan didalam shahih-nya dari Busr bin Said dari Zaid bin Khalid dari Abu Thalhah bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk kedalam rumah yang didalamnya terdapat lukisan.”
Busr berkata, ”Sesudah itu Zaid jatuh sakit, lalu kami menjenguknya. Tiba-tiba di pintunya terdapat gordin yang ada lukisannya. Lantas aku bertanya kepada Ubaidillah bin al Khaulani, anak tiri Maimunah, Istri Rasulullah saw (yang sedang bersama Zaid),’Bukankah Zaid telah memberitahukan kepada kita tentang gambar pada hari pertama ?’ Ubaidilah menjawab, ’Apakah engkau tidak mendengar ketika dia berkata, ’Kecuali lukisan pada kain.”
Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Utbah bahwa dia pernah menjenguk Abu Thalhah al Anshari, lalu didapatkannya Sahl bin Hanif (seorang sahabat yang lain) sedang berada di sisinya. Kemudian Abu Thalhah meminta untuk melepas kain hamparan (seprei) yang ada diabawahnya karena ada gambarnya. Kemudian Sahl bertanya kepadanya, ”Mengapa engkau lepas?’ dia menjawab,’karena ada gambarnya. Sedangkan Nabi saw bersabda mengenai hal ini sebagaimana engkau telah mengetahuinya.’ Sahl berkata,’Bukankah beliau yang bersabda, ’Kecuali lukisan yang ada pada kain?’ Abu Thalhah menjawab,’Ya, tapi dengan melepas seprei ini hatiku lebih senang.” Tirmidzi berkata, ”Ini adalah hadits hasan shahih.”
Kedua hadits ini menunjukkan bahwa yang diharamkan adalah gambar yang berbodi atau biasa disebut dengan patung. Adapun gambar-gambar atau lukisan-lukisan di papan, pakaian, lantai, tembok dan sebagainya maka tidak terdapat nash yang shahih dan sharih (jelas dan tegas) yang mengharamkannya.
Memang ada beberapa hadits shahih dimana Rasulullah saw hanya menunjukkan ketidaksenangannya saja terhadap gambar semacam ini karena menyerupai gaya hidup orang yang suka bermewah-mewahan dan gemar dengan sesuatu yang rendah nilainya, seperti hadits yang diceritakan oleh Aisyah bahwa Rasulullah saw keluar dalam salah satu peperangan, lalu saya membuat gordin (yang ada gambarnya) lantas saya tutupkan pada pintu. Ketika beliau datang dan melihat gordin, saya melihat tanda kebencian di wajah beliau, lantas beliau melepas gordin itu dan kain itu disobek atau dipotongnya seraya berkata,”Sesungguhnya Allah tidak menuyuruh kita mengenakan pakaian pada batu dan tanah.’ Aisyah berkata,’Lalu kami potong dan kami buat dua buah bantal, dan kami isi dengan sabut, dan beliau tidak mencela tindakan saya tersebut.”
Hukum Fotografi
Syeikh Yusuf al Qaradhawi menganggap bahwa fotografi merupakan hal baru dan belum ada pada masa Rasulullah saw ataupun Ulama Salaf, lalu apakah bisa disamakan dengan hukum menggambar dan melukis?
Pihak yang membatasi keharamannya pada gambar berbodi tidak mempermasalahkan fotografi ini sama sekali, apalagi jika gambarnya tidak utuh. Akan tetapi pihak lain mempersoalkan, apakah fotografi ini dapat dikiaskan dengan menggambar menggunakan kuas ? atau apakah illat (alasan) yang ditetapkan beberapa hadits tentang akan disiksanya para pelukis—yaitu karena hendak menandingi ciptaan Allah—itu dapat diberlakukan pada fotografi ? Sebagaimana dikatakan oleh para ahli ushul fiqih, apabila illat-nya tidak ada maka ma’lul (yang dihukumi) pun tidak ada.
Syeikh al Qaradhawi mengutip fatwa yang disampaikan Syeikh Bukhait, Mufti Mesir didalam risalahnya yang menjawab tentang permasalahan ini dengan mengatakan bahwa pengambilan fotografi—yakni menahan bayangan dengan menggunakan sarana yang sudah dikenal di kalangan orang-orang yang berprofesi demikian—sama sekali tidak termasuk gambar yang dilarang. Karena menggambar yang dilarang itu adalah mewujudkan dan menciptakan gambar yang belum diwujudkan dan diciptakan sebelumnya, sehingga bisa menandingi makhluk ciptaan Allah. Sedangkan tindakan ini tidak terdapat dalam pengambilan gambar melalui alat fotografi (tustel) tersebut.
Demikianlah, meskipun ada orang yang cenderung bersikap ketat dalam semua masalah gambar, dan membenci semua jenisnya, termasuk fotografi. Tetapi tidak diragukan lagi adanya rukhshah (keringanan) pada gambar atau foto yang diperlukan dan untuk kemaslahatan, seperti foto kartu jati diri, paspor, foto identitas dan lainnya yang tidak dimaksudkan untuk diagung-agungkan atau dikhawatirkan merusak akidah. Karena kebutuhan terhadap foto-foto ini lebih besar dan lebih penting daripada sekedar membuat lukisan pada kain yang dikecualikan Nabi saw. (sumber : Halal dan Haram)
Wallahu A’lam