Ulumul

BAB I
PENDAHULUAN

Jumhur tokoh-tokoh hadits dan fikih sepakat bahwa seseorang yang bisa diterima periwayatannya adalah seorang rawi yang ‘adil (karakteristik moralnya baik). Yaitu dia harus seorang muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang bisa menyebabkan harga dirinya jatuh, dan dia meriwayatkan dalam keadaan sadar.
Lafadh “Jarh”, menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifst-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau teroak apa yang diriwayatkannya. Sedangkan memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men-ta’dil-kannya.
Al-Jarh dan at-Ta’dil adalah Ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus.
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. prinsip-prinsipnya telah tegak sejak masa sahabat. Tidak sedikit diantara mereka yang berbicara tentang para perawi. Banyak pula tabi’in dan generasi sesudah mereka yang berbicara tentang para perawi.
Adapun pendapat ulama yang menyatakan bahwa jarh harus didahulukan secara mutlak daripada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak daripada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil, adalah pendapat yang dipegang oleh para ulama ahli hadits, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin.










BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Al-Jarh wa At-Ta’dil

Secara etimologis, kata al-Jarh artinya cacat atau luka, dan at-Ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Sedangkan secara terminologis, kata al-Jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Dan at-Ta’dil berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwira’annya. Maka ilmu al-jarh wa at-Ta’dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang periwayat hadits.
Sedangkan ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-Ta’dil dalam satu pengertian, seperti yang didefinisikan oleh Dr. Subhi Ash-Shalih, yaitu; Ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus.
Dalam buku yang berjudul Ushul Al-Hadits karangan Dr. M. Ajaj al-Khatib telah disebutkan bahwa ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil merupakan ilmu hadits yang terpenting, teragung posisinya dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan dari yang sahih dan yang cacat, yang diterima dan yang ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh dan ta’dil memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.

B. Pertumbuhan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil

ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. karena untuk mengetahui khabar-khabar yang sahih diperlukan pengetahuan tentang para perawinya, yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu menilai kejujurannya ataupun kedusta’annya, sehingga mereka bisa membedakan antara yang bisa diterima dan yang ditolak. Oleh karena itu, mereka selalu bertanya tentang keadaan para perawi dan melakukan penelitian di sela-sela kehidupan intelektual mereka, dan mengenal lebih dekat semua hal-hal para perawi. Mereka melakukan penelitian yang amat cermat, sehingga mereka bisa mengetahui yang paling hafidz, yang paling kuat ingatannya dan yang paling lama bermujalasah dengan guru-gurunya.
Selain itu banyak pula khabar tentang pendapat-pendapat sahabat mengenai Jarh wa Ta’dil. Setelah sahabat, yang berbicara tentang para perawi adalah tabi’in, generasi sesudah tabi’in dan ahli ilmu sesudah mereka. Mereka menjelaskan hal ihwal para perawi, menkritik dan menta’dil mereka dengan niat mencari ridha Allah SWT., tak takut kepada siapapun dan tak terjerat rasa kasih sayang. Semua mereka maksudkan untuk mengabdi kepada syariat dan memelihara sumber-sumbernya. Sehingga mereka akan mengatakan sesuatu sejujur-jujurnya dan menata niat sebaik-baiknya.
Para imam hadits sangat cermat dalam menilai para periwayat. Setiap mihaddits akan mereka teliti sifat positif dan negatifnya. Imam asy-Syafi’I berkata, Demi Allah, seandainya saya menemukan kebenaran sebanyak sembilan puluh sembilan kali dan melakukan kesalahan sekali saja, maka mereka akan menilaiku berdasarkan yang satu kali itu.
Demikianlah, ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. prinsip-prinsipnya telah tegak sejak masa sahabat. Tidak sedikit diantara mereka yang berbicara tentang para perawi. Banyak pula tabi’in dan generasi sesudah mereka yang berbicara tentang para perawi.

C. Kitab-kitab Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil

Giatnya penyusunan karya-karya dalam bidang al-Jarh wa at-Ta’dil bisa dikatakan terjadi pada abad 2 H, yakni ketika kondifikasi ilmu marak di segenap penjuru wilayah Islam. muncullah koleksi-koleksi di berbagai bidang ilmu syari’at. Karya-karya awal itu merupakan benih-benih bagi karya-karya besar yang muncul sebelumnya.
Para penulis kitab-kitab al-Jarh wa at-Ta’dil berbeda-beda dala menyusun buku-bukunya. Sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai duapuluh ribu rijalus-sanad. Adapun kitab yang mula-mula sampai kepada kita di antaranya :
1. Ma’rifatu’r-rijal; karya Yahya Ibni Ma’in. juz pertama kitab ini, yang masih berupa manuskrib (tulisan tangan) berada di darul kutub Adh-Dhahiriyah.
2. Ad-Dlu’afa; karya Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhary (194-252 H). kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3. At-Tsiqat; karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H).
4. Al-Juhru Wa-Ta’dil; karya ‘Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H). ini merupakan kitab Jarih wa ta’dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H, kitab itu dicetak di India menjadi 9 jilid, yang satu jilid sebagai miqadimah.
5. Mizanul ‘Itidal; karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673-748 H). kitab itu terdiri dari 3 jilid dan mencakup 10.907 orang rijalus-samad.
6. Lisanul Mizan; karya al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalany (773-852 H). kitab ini dicetak di India pada tahun 1329-1331 H, terdiri dari 6 jilid dan memuat 14.343 orang rijalus-sanad.

D. Tingkatan dan lafadh-lafadh dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil

Lafadh-lafadh yang digunkan dalam mentajrihkan dan menta’dilkan itu bertingkat-tingkat, yaitu:
a. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu As-Shalah dan Imam Nawawi, lafad-lafadh itu disusun menjadi 4 tingkatan.
b. Menurut Al-Hafidh ad-Dahabi dan Al-Iraqi, lafadh-lafadh itu disusun menjadi 5 tingkatan.
c. Sedangkan menurut Ibnu Hajar menyusunya menjadi 6 tingkatan.

Susunan dan tingkatan lafadh-lafadh untuk mentajrihkan para perawi adalah sebagai berikut:
Pertama: menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk ‘afaluttafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
: orang yang paling dusta
: orang yang paling bohong
: orang yang paling top kebohongannya

Kedua: menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadh berbentuk shighat mubalagah. Misalnya:
: orang yang pembohong
: orang yang pendusta
: orang yang penipu

Ketiga: menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
: orang yang dituduh bohong
: orang yang dituduh dusta
: orang yang perlu diteliti
: orang yang ditinggalkan hadisnya

Keempat: menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
: orang yang dilempar hadisnya
: orang yang lemah
: orang yang ditolak hadisnya

Kelima: menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
: orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya
: orang yang munkar hadisnya
: orang yang kacau hadisnya
: orang yang banyak menduga-duga

Keenam: mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahanya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:
: orang yang didha’ifkan hadisnya
: orang yang diperbincangkan
: orang yang lunak
: orang yang tidak dapat digunakan hujah hadisnya
: orang yang tidak kuat

Orang yang ditajrih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar (tempat membandingkan).

Susunan dan tingkatan lafadh-lafadh untuk menta’dilkan para perawi adalah sebagai berikut:
Pertama: segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang brbentuk ‘afaluttafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:
: orang yang paling Tsiqah
: orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya
: orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
: orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah

Kedua: memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifat yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalnya:
: orang yang teguh (lagi) teguh
: orang yang tsiqah (lagi) tsiqah
: orang yang teguh (lagi) tsiqah

Ketiga: menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengadung arti kuat ingatan
: orang yang teguh (hati dan lidahnya)
: orang yang meyakinkan (ilmunya)
: orang yang hafidh (kuat hafalannya)

Keempat: menunjuk keadilan dan kedhabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
: orang yang sangat jujur
: orang yang dapat memegang amanat
: orang yang tidak cacat

Kelima: menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedhabitan. Misalnya:
: orang yang berstatus jujur
: orang yang baik hadisnya
: orang yang bagus hadisnya

Keenam: menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebuat diatas diikuti lafadh “insya Allah”, atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:
: orang yang jujur. Insya Allah.
: orang yang diharapkan tsiqah
: orang yang sedikit kesalahnnya

E. Perbedaan Pendapat dalam Kritik Hadis

Apabila terdapat ta’arudl antara Jarh dan Ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagain ulama yang lain men-tajrih-kan, dalam hal ini terdapat tiga pendapat :
1. Mendahulukan jarh daripada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak daripada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil.
2. Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang menta’dil lebih banyak. Karena banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang bersangkutan.
3. Bila jarh dan ta’dil bertentangan, maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya.

Diantara ketiga pendapat tersebut, pendapat yang pertamalah yang dipegang oleh para ulama ahli hadits, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Secara etimologis, kata al-Jarh artinya cacat atau luka, dan at-Ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Sedangkan secara terminologis, kata al-Jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Dan at-Ta’dil berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwira’annya. Maka ilmu al-jarh wa at-Ta’dil adalah suatu imu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima ata ditolak periwayatannya.
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. prinsip-prinsipnya telah tegak sejak masa sahabat. Tidak sedikit diantara mereka yang berbicara tentang para perawi. Banyak pula tabi’in dan generasi sesudah mereka yang berbicara tentang para perawi. Mereka menjelaskan hal ihwal para perawi, menkritik dan menta’dil mereka dengan niat mencari ridha Allah SWT., tak takut kepada siapapun dan tak terjerat rasa kasih sayang. Semua mereka maksudkan untuk mengabdi kepada syariat dan memelihara sumber-sumbernya. Sehingga mereka akan mengatakan sesuatu sejujur-jujurnya dan menata niat sebaik-baiknya.
“Mendahulukan jarh daripada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak daripada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil” adalah pendapat yang dipegang oleh para ulama ahli hadits, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin.
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil merupakan ilmu hadits yang terpenting, teragung posisinya dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan dari yang sahih dan yang cacat, yang diterima dan yang ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh dan ta’dil memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.







DAFTAR PUSTAKA


Rahman, Fathur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT. ALMA’ARIF, 1974.

Ranuwijaya, Utung. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.

Al-Khatib, Ajaj. Ushul Al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.

Al-Nawawi, Imam. Dasar-Dasar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar