SPI

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu bukti kecintaan umat islam terhadap agamanya ialah dengan mempelajari sejarah dan pendidikan itu sendiri, kerena dengan cara itu umat islam dapat berinovasi dan melahirkan karya-karya baru guna kemajuan peradaban islam.
Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai teciptanya salah stu maha karya umat islam yaitu munculnya madrasah yang melahirkan individu-individu yang beriman dan berpengetahuan luas.
Madrasah merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan dan khan sebagai asramanya, Masjid Khan yang menjadi cikal bakal madrasah dan Fiqih merupakan bidang studi utama.

















BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN MADRASAH

A. Pengartian Madrasah
Ada beberapa pengertian mengenai madrasah, salah satunya adalah:
Madrasah merupakan isim makan dari fi’il madhi dari darasa, mengandung arti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dengan demikian, secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal dan memiliki konotasi spesifik. Madrasah itu sendiri merupakan institusi peradaban Islam yang sangat penting .
Madrasah merupakan isim makan dari “darasa” yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Istilah madrasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan islam).
Sedangkan Nakosteen dan beberapa sarjana lain, menerjemahkan kata madrasah dengan university. Walaupun tidak terlalu tepat, tapi sedikitnya dapat mewakili. Sebab ada tiga perbedaan mendasar antara madrasah dengan universitas.
1. Kata universitas dalam pengertian yang paling awal mengacu pada civitas akademika, sedangkan madrasah mengacu pada sarana dan prasarana.
2. Universitas bersifat hirarkis sedangkan madrasah bersifat individualistis dan personal.
3. Izin mengajar pada universitas dikeluarkan oleh komite sedangkan pada madrasah ijazah dikeluarkan oleh Syaikh.
B. Sejarah Kelahiran Madrasah
Sebelum membahas lebih jauh tentang pertumbuhan madrasah, terlebih dahulu akan dikemukakan periodisasi pendididkan islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Zuhairini yang memabaginya kepada lima periode:
1. Periode pembinaan pendidikan Islam, yaitu pada masa Rosulullah SAW
2. Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yaitu pada masa Rosulullah SAW sampai masa Bani Umayah.
3. Periode kejayaan pendidikan Islam, yaitu pada masa Abassiyah samapai jatuhnya Baghdad dengan timbulnya madrasah dan puncak budaya Islam.
4. Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu jatuhnya Baghdad sampai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon.
5. Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yaitu pada masa Mesir dipegang oleh Napoleon sampai dengan kini.
Dengan periodisasi diatas dapat diasumsikan bahwa pembahasan ini berada pada periode ketiga, yaitu pada masa Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad.
Ada bebrapa faktor yang mendukung timbulnya madrasah salah satunya faktor politik. Kesatuan politik yang hampir terwujud seperti telah dipelihara oleh khalifah Sunni di Baghdad, terpecah ketika khalifah Syiah didirikan di Kairo sebelum abad ke 4 Hijriah.
Khalifah-khalifah saingan di Kairo mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi dan mereka memperkuatnya melalui pendidikan yang terencana yang diselenggarakan oleh Negara. Pendidikan ini dirancang untuk keperluan orang-orang dewasa yang disebarluaskan dari sebuah lembaga pusat yang dikenal dengan nama Dar Al-Ilmi. Sebuah masjid yang didirikan sebelah Kairo tersebut segera digunakan untuk tempat belajar menurut doktrin penguasa baru. Masjid ini sekarang dikenal dengan Al-Azhar, yang dipandang sebagai Universitas tertua di dunia.
Belajar dari langkah-langkah yang ditempuh di Kairo, Baghdad tidak mau ketinggalan. Meskipun sedikit terlambat, Baghdad menanggapi tantangan pendidikan itu dengan langkah yang sama pada abad ke 5 H, yaitu mendirikan sebuah lembaga pendidikan baru yang bernama madrasah. Serupa dengan apa yang dilakukan oleh kubu saingannya, lembaga madrasah itu didirikan oleh Negara guna menyebarluaskan dogma penguasa.
Lawan politik Dinasti Saljuk yang Sunni adalah Dinasti Fatimiyah di Mesir yang beraliran Syiah. Ketetapan awal untuk membina lembaga pendidikan dalam hal ini madrasah ialah karena suatu pertimbangan bahwa untuk melawan Syiah tidak cukup dengan kekuatan senjata, melainkan juga harus dengan melalui penanaman ideologi yang dapat melawan ideologi Syiah. Pertimbangan ini dilakukan karena Syiah sangat aktif dan sistematik dalam melakukan indoktrinisasi melalui pendidikan atau aktifitas pemikiran yang lain. Ini pula yang melatarbelakangi lahirnya madrasah dengan tujuan melawan pengaruh Syiah dan memperkuat posisi Sunni.
Selain dari pada itu ada bebrapa pendapat yang digunakan dalam memandang sejarah dan motivasi pendirian madrasah. Menurut Al-Makrizi, ia berasumsi bahwa madrasah pertama adalah Madrasah Nijhamiyah yang didirikan tahun 457 H. Pendapat ini dibantah oleh Hasan dengan mengajukan argumentasi bahwa belakangan membuktikan sebelum berdirinya Dinasti Saljuk telah dikenal secara luas di daerah Naisyapur. Dibawah naungan Dinasti Smaniyah (204-395 H/819-1005 M) berkembang menjadi salah stu pusat budaya dan pusat pendidikan terbesar di Dunia Islam sepanjang abad ke-4 H/10 M dan telah banyak madrasah sebelum era Nidzam Al-Mulk. Pendapat ini diperkuat oleh Ghanimah yang menyatakan bahwa pada abad ke-4 telah muncul madrasah di Nisyapur karena banyak bukti yang signifikan tentang hal itu. kemudian juga ada yang berpendapat bahwa madrasah sudah eksis semenjak awal islam seperti Bait al-Hikmah yang didirikan Al-Makmun di Baghdad abad ke-3 H.
Dari informasi yang diterima diatas dapat diketahui, bahwa madrasah yang pertama di Nisyapur. Namun demikian, madrasah itu kurang dikenal mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri pada waktu itu masih bersifat ahliyah (keluarga), berdasarkan wakaf keluarga dan sejarah baru mencatat sesuatu bila telah menjadi fenomena yang meluas. Disamping itu, tidak ada campur tangan dari penguasa sebagaimana halnya Madrasah Nijhamiyah, sehingga tidak disangka bahwa pengaruh Madrasah Nijhamiyah melampaui pengaruh madrasah-madrasah sebelumnya.
Lahirnya pendidikan formal dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari system pengajaran dan pendidikan yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid.
Dalam pandangan Hasan Ashari bahwa madrasah merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan dan khan sebagai asramanya. Asumsi ini diperkuat oleh Makdisi, antara lain bahwa Masjid Khan yang menjadi cikal bakal madrasah dan fiqih merupakan bidang studi utama.
Selanjutnya Zuhairini mengemukakan alasan-alasan berdirinaya madrasah diluar masjid, diantaranya:
1. Halaqah-halaqah (kelompok studi) yang di selenggarakan di masjid sering menggangu orang yang beribadah.
2. Berkembangnya ilmu pengetahuan melahirkan banyak halaqah yang tidak tertampung di masjid
3. Ketika bangsa Turki mulai berpengaruh dalm pemerintahan Bani Abasiyah dan dalam rangka mempertahankan status quo. Mereka berusaha menarik hati dengan memperhatikan pendidikan dan pengajaran guru-guru digaji dan dibri fasilitas yang layak.

C. Sistem Pendidikan Madrasah
Hasan Abdul Al-’Al mengemukakan lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut: sistem pendidikan Mu’tajilah, sistem pendidikan Ikhwan Al-Shafa, sistem pendidikan bercorak filsafat, sistem pendidikan bercorak tasawuf, dan sistem pendidikan bercorak fiqih. Institusi yang dipakai masing-masing sebagai berikut:
1. Filosof menggunakan Daar al-Hikmah, al-Muntadiyat, Hawanit dan Waraqi’in.
2. Muntashawif menggunakan al-Zawaya, al-Ribath, al-Masajid, dam Halaqat al-Dzikr.
3. Syi’iyyin menggunakan Daar al-Hikmah, al-masajid, pertemuan rahasia.
4. Mutakallim menggunakan al-Masajid, al-Maktabat, Hawanit, dan Waraqi’in serta al-Muntadiyat.
5. Fuqaha dan ahli hadis menggunakan al-Katadit, al-Madaris, dan al-Masajid.
Melihat data diatas jelaslah bahwa madrasah merupakan tradisi system pendidikan bercorak fiqih.

BAB II
KESIMPULAN
Motivasi yang mendasari kelahiran madrasah, yaitu selain motivasi agama dan motivasi ekonomi karena berkaitan dengan ketenagakerjaan, juga motivasi politik. Madrasah sebagai sebuah institusi pendidikan yang lahir karena kondisi actor politik pada masa itu yang mendukung lahirnya madrasah disamping actor-faktor lainnya. Dengan berdirinya madrasah maka pendidikan islam memasuki periode baru, yaitu pendidikan menjadi fungsi bagi Negara dan madrasah-madrasah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sekterian dan indoktrinasi politik.
Meskipun madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran di Dunia Islam baru timbul sekitar abad ke-4 H. Ini bukan berarti bahwa sejak awal perkembangannya islam tidak mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran.
Pada periode awal telah berdiri beberapa madrasah yang menjadi cikal bakal munculnya madrasah Nijhamiyah madrasah-madrasah tersebut berada di wilayah Persia, tepatnya di daerah Nisyapur, misalnya Madrasah Al-Baihaqiyah, Madrasah Sa’idiyah dan madrasah yang terdapat di Khurasan.

DAFTAR PUSTAKA

Alavi, Ziaudin, Muslim Educational Though In the Middle Ages, Terj. Abudin Nata, (Canada: Montreal, 2000)
Ashari, Enslikopedi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I hlm. 240
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’i (al-Qahirah: al-Nahdhah al-Mishriyah, 1967) Cet. I Juz IV hlm. 452
Poerwadinata, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: 1990 hlm. 618.
Syalaby, Ahmad, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Al-Qahirah: Kasyaf li al-Nasr wa al-Thiba’ah wa al-Tauzi’, 1954) hlm.99
Zuhairini, at. Al, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1997) Cet. Ke 5 hlm. 100



MASA KEMAJUAN ISLAM
ZAMAN KHALIFAH RASYIDAH

A. Abu Bakar Sidiq ( Masa Pemerintahan 632-634 M )

Abu Bakar Sidiq disebut sebagai Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugs-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Bentuk pemerintahan yang dianut oleh Abu Bakar bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat bersarnya bermusyawarah.
Dalam jangka waktu dua tahun tersebut banyak sekali jasa-jasa beliau, antara lain:
1. Memerangi orang-orang murtad yang dipimpin oleh Khalid bin Walid yang kemudian dikenal dengan perang Riddah (perang melawan kemurtadan)
2. Melakukan ekspansi/perluasan wilayah dalam rangka penyebaran Islam ke Al-Hirrah suatu daerah di Irak yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, kemudian pada tahun 634 M dapat dikuasai daerah tersebut.
3. Ekspansi ke Syiria yang di pimpin oleh empat jendral, yaitu Abu Ubaidillah, Amr bin ‘Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil.
Ketika barisan terdepan tentara muslim sedang mengancam Palestiana, Irak dan kerajaan Hirrah, Abu Bakar dipanggil menghadap Allah SWT. Kemudian beliau digantikan tangan kanannya yaitu Umar bin Khatab.

B. Umar bin Khathab ( Masa Pemerintahan 13-23 H/634-644 M )

Pada saat Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan uamat Islam.
Seperti halnya pada zaman Abu Bakar, Umar juga melakukan ekspansi kebeberapa daerah, yaitu:
1. Pada tahun 635 M melakukan ekspansi ke Damaskus, ibu kota Syiria.
2. Pada tahun 636 M seluruh wilayah Syiria dapat dikuasai setelah mengalahkan tentara Biantium dalam pertempuran Yarmuk.
3. Pada tahun 637 M tentara Islam dibawah pimpinan Saad bin Abi Waqash dapat menaklukan Al-Qadisiyah sebuah kota dekat Hirrah di Irak. Pada thun itu juga Al-Madain Ibu kota Persia dapat ditaklukan.
4. Pada tahun 641 M tentara Islam dibawah pimpinan Amru bin Ash dapat menuasai Iskandaria, ibu kota Mesir.
5. Pada tahun 641 M Mosul dapat di taklukan.
Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.
Selain melakukan perluasan wilayah, Umar juga melakuakan beberapa pembenahan, yaitu:
1. Mengatur administrasi Negara
2. Membagi 8 wilayah Propinsi (Mekkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Palestian dan Mesir)
3. Mendirikan beberapa departemen
4. Membentuk system pembayaran gaji dan pajak tanah
5. Mendirikan pengadilan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dan eksekutif
6. Membentuk kepolisian guna menjaga keamanan dan ketertiban
7. Membentuk jawatan pekerjaan umum
8. Mendirikan Bait al Mal
9. Menempa mata uang
10. Menciptakan tahun Hijriyah
Masa jabatan Umar berakhir dengan kematian, dia dibunuh seorang budak dari Persia yang bernama Abu Lu’lu’ah, kemudian kepemimpinan Islam di pegang oleh Usman bin Afan.

C. Usman bin Afan (Masa Pemerintahan 644-655 M)

Pada masa pemerintahan Usman ekspansi Islam pertama berhenti sampai disini, namun pada saat itu juga bertambah daerah kekuasaan Islam, seperti Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhides, Transoxania, Tabaristan dan bagian yang tersisa dari Persia.
Selama dua belas tahun berkuasa dengan system pemerintahan yang sangat berbeda denga Umar di karenakan sifatnya yang lemah lembut, muncullah berbagai pemberontakan yang kecewa terhadap kebijakan yang dilakukan Usman.
Salah satu factor yang menyebabkan banyak raskyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaanya mengangkat keliarga dalam kedudukan tertinggi. Yang terpening diantaranya Marwah ibn Hakam, dialah pada dasranya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar khalifah. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M Usman di bunuh oleh kaum pemberontak.
Dengan mengesampingkan itu semua banyak sekali jasa-jasa yang dilakukan Usman dalam membangun peradaban Islam, antara lain:
1. Membangun bendungan utuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur arus air ke kot-kota.
2. Membangun jalan-jalan
3. Membangun jembatan-jembatan
4. Membangun masjid-masjid
5. Memperluas masjid Nabi di Ma

D. Ali bin Abi Thalib


BAB II
PERAN NEGARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
SETELAH KEMERDEKAAN

A. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada kabinet pertama, K.H. Dewantara duduk sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK). Dalam rapatnya tanggal 27 Desember 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP. KNIP) mengusulkan kepada Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) supaya mengusahakan pembaruan pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Saran Badan Pekerja itu adalah sebagai berikut:
“Pengajaran Agama hendaklah mendapat tempat teratur seksama, sehingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Tentang cara melakukan hal ini, Kementrian mengadakan perundingan dengan Badan Pekerja. Madrasah dan Pesantren-pesantren yang pada hakikatnya satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah juga mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.”

Karena keadaan Negara pada waktu itu baru merdeka, maka pergantian Kabinet sering terjadi. Selama periode 1945-1959 terjadi beberapa pergantian Kabinet, akibatnya program-program yang sudah tersusun termasuk program Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tidak dapat berjalan dengan baik. Akhirnya saran BP. KNIP itu baru dapat dilaksanakan pada masa Menteri PPK dipegang oleh MR. Suwandi (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), dengan membentuk Panita Penyelidik Pengajaran dibawah pimpinan K.H. Dewantara. Panitia itu antara lain menetapkan bahan pengajaran agama. Hasil kerja Panitia Penyelidik Pengajaran itu menyangkut pendidikan agama, antara lain:

1. Hendaknya pelajaran agama diberikan pada semua sekolah dalam jam pelajaran dan di SR (Sekolah Rakyat) diajarkan mulai kelas IV.
2. Guru agama disediakan oleh Kementrian Agama dan dibayar oleh pemerintah.

Sementara itu dengan penetapan Pemerintah No. 1 tanggal 3 Januari 1946, didirikan Kementrian Agama. Dan Menteri Agama pada tanggal 20 Nopember 1946 mengeluarkan keputusannya nomor 1185/K.J, menetapkan bahwa bagian C (pada Kementrian Agama) melaksanakan kewajiban-kewajiban antara lain:
a. Urusan pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Keristen;
b. Urusan pengangkatan guru-guru agama;
c. Urusan pengawasan pelajaran agama;

Setelah itu dikeluarkan peraturan bersama antara menteri PPK dan Menteri Agama, yang intinya menyapakati adanya pengajaran agama di Sekolah-sekolah Rendah sejak kelas IV dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1947. Peraturan bersama inilah yang dapat dianggap sebagai landasan hukum pertama mengenai adanya penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri oleh instansi Negara. Dari situ kita mengetahuai bahwa secara resmi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri di Indonesia telah ada sejak tanggal 1 Januari 1947. Pada waktu itu pendidikan agama baru diberikan di tingkat sekolah rendah, yang sekarang disebut Sekolah Dasar dan belum berlaku bagi sekolah-sekolah partikelir (swasta).

Untuk menyempurnakan peraturan bersama tersebut, Menteri PPK dan Menteri Agama mengeluarkan peraturan bersama kembali antara tahun 1951 yaitu nomor 17678/Kab. Tanggal 16 Juli 1951 mengenai penyelenggaraan pendidikan agama sejak kelas I Sekolah Rendah pada lingkungan-lingkungan istimewa, dan pendidikan agama perlu diberikan juga di sekolah-sekolah partikelir dengan pembiayaan dari pemerintah.

Langkah penyempurnaan selanjutnya tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) nomor II tahun 1960 Bab II pasal 2 ayat 3, yang menyatakan bahwa pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai Universitas, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta apabila walimurid/murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun pada perkembangannya kata-kata dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta apabila walimurid/murid dewasa menyatakan keberatannya dihapus melalui ketetapan MPRS nomor XXVII tahun 1966, karena pemerintah menyadari bahwa pendidikan agama sangatlah penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jadi pada masa Orde Lama pendidikan Islam formal sudah mulai terlembagakan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tingkat dasar sampai menengah sudah dinamai madrasah sedangkan perguruan tinggi dinamai Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Nama madrasah pada masa ini sangat beragam seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Wajib Belajar, dan Sekolah Dasar Islam, sedangkan tingkat perguruan tinggi saat itu bernama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di Yogyakarta yang kemudian dilebur menjadi IAIN.

B. Pendidikan Islam Pada masa Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru kebijakan pendidikan Islam masih melanjutkan kebijakan Orde Lama, yaitu belum dipandang sebagai bagian dari sistem Pendidikan Nasional. Ini didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan islam yang terlembaga dalam madrasah-madrasah masih dilaksanakan secara tradisional. Untuk masuk kewilayah ini, pemerintah menempuh cara formalisasi pada sebagian lembaga-lembaga itu. Formalisasi ditempuh dengan mengerikan sejumlah madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah dengan kriteria tertentu sesuai yang diatur pemerintah, disamping mendirikan madrasah-madrasah negeri yang baru. Usaha formalisasi didikuti pula dengan penyusunan kurikulum dan memberlakukannya pada tahun 1971 yang setelah disempurnakan kemudian dikenal dengan kurikulum 1973. Setelah kurikulum tahun 1973, pada masa berikutnya lahir kurikulum tahun 1978, tahun 1984, tahun 1986, dan tahun 1994 sebagai penyempurna terhadap kurikulum lama dan penyesuaian terhadap peraturan baru.
Dari sisi kebijakan pemerintah yang dikeluarkan, pendidikan Islam Indonesia telah banyak mendapatkan perhatian. Banyak peraturan perundang-undangan mulai dari Tap. MPRS, Tap. MPR, Undang-undang, Keputusan dan Instruksi Presiden, sampai Kerputusan Menteri yang memberikan dasar hukum untuk mengatur pendidikan Islam. Peraturan tersebut apabila dijabarkan antara lain:
1. Tap. MPRS No. 28 tahun 1966.
2. SKB Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan & Kebudayaan) tahun 1975.
3. SKB Dua Menteri (Menteri Agama dan Menteri Pendidikan & Kebudayaan) tahun 1984.
4. UU No. 2 tahun 1989.
5. Tap. MPR No. 2 tahun 1990.
6. PP No. 28 tahun 1990.
Tap. MPRS No. 28 tahun 1966 memiliki perhatian yang culup maju terhadap pendidikan agama, namun perhatian ini masih dalam kerangka tujuan Pendidikan Nasional yaitu membentuk manusia Pancasila sejati. Bunyi pasal tersebut adalah:
1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Dengan dikeluarkannya ketetapan tersebut, maka sejak tahun 1966 ini pendidikan agama menjadi materi yang wajib diberikaan di setiap sekolah mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi sekaligus juga sebagai syarat kelulusan ujian akhir. Senada dengan peraturan sebelumnya, Undang-undang No. 2 tahun 1989 juga masih bersifat Pancasilaistis.
Sedangkan kebijakan yang banyak menimbulkan kontroversi adalah Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tntang Tanggung-jawab Fungsional dan Latihan. Salah satu bunyi Undang-undang tersebut bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung-jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejujuran. Dua tahun kemudian, Kepres itu di pertegas dengan Inpres No. 15 tahun 1974 sebagai aturan pelaksanaanya. Jika mengacu kepada ketentuan ini, maka penyelenggaraan pendidikan umum dan kejujuran termasuk di dalamnya pendidikan agama, sepenuhnya menjadi berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit peraturan ini mengharuskan penyerahan penyelenggaraan madrasah kepada Kementrian P & K. fenomena ini menimbulkan ketegangan yang cukup keras antara institusi pendidikan agama dengan pendidikan nasional yang sekaligus mengindikasikan belum eksisnya pendidikan agama seperti halnya pendidikan umum pada masa itu. Bahkan, dengan peraturan tersebut institusi pendidikan agama terancam gulung tikar.
Tentu saja peraturan tersebut mengundang reaksi dari segenap umat Islam yang melihat gejala tidak menguntungkan tersebut, kemudian umat islam saat itu mendesak untuk dilakukan peninjauan ulang terhadap kedua peraturan tersebut. Untuk mengatasi kekhawatiran dan tuntutan umat islam, maka Presiden mengeluarkan petunjuk pelaksanakan yang menyatakan bahwa pembinaan pendidikan umum adalah tanggungjawab P & K, sedangkan tanggunjawab pendidikan agama menjadi tanggungjawab Menteri Agama. Selain itu, dalam petunjuk pelaksanaan tersebut juga disebutkan bahwa untuk melaksanakan Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 diperlukan kerjasama yang sebaik-baiknya antara Departemen P & K, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama. Sebagai solusinya, berdasarkan hasil sidang cabinet terbatas tanggal 26 Nopember 1974 akhirnya keluarlah SKB 3 Menteri untuk mengatur kebijakan oprasional yang terkait dengan Kepres dan Inpres itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar