mawaris

PENDAHULUAN

Secara bahasa, kata furudh mempunyai enam arti yang berbeda yaitu al-qth’ ‘ketetapan yang pasti’ at-taqdir ‘ketentuan’ dan al-bayan ‘penjelasan’. Sedangkan menurut istilah, fardh ialah bagian dari warisan yang telah ditentukan. Definisi lainnya menyebutkan bahwa fardh ialah bagian yang telah ditentukan secara syar’i untuk ahli waris tertentu.
Di dalam al-qur’an, kata furudh muqaddarah ( yaitu pembagian ahli waris secara fardh yang telah ditentukan jumlahnya) merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu separuh (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).


















BAB II
AHLI WARIS DAN MACAM-MACAMNYA


A. Furudhul Muqaddarah

Adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syara’ bagi ahli waris tertentu dalam pembagian harta peninggalan , atau dengan kata lain prosentase bagian yang telah ditentukan bagiannya.
Furudul Muqaddarah ada enam macam:
1. Dua pertiga (2/3)
2. Setengah (1/2)
3. Sepertiga (1/3)
4. Seperempat (1/4)
5. Seperenam (1/6)
6. Seperdelapan (1/8)
Sedangkan ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian dari furudul muqaddarah adalah:
Pihak laki-laki:
- Ayah;
- Kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas;
- Suami;
- Saudara laki-laki seibu;
Pihak perempuan:
- Anak perempuan;
- Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan dari anak laki-laki) dan terus kebawah sejauh pertaliannya dengan yang meninggal masih laki-laki;
- Ibu;
- Nenek dari pihak ayah dan seterusnya keatas sebelum berselang perempuan;
- Saudara perempuan seibu dan seayah;
- Saudara perempuan yang seayah saja;
- Saudara perempuan yang seibu saja;
- Isteri;

B. Dzawil Furudh (Ashabul Furudh)

Adalah ahli waris yang mendapat bagian tertentu dalam keadaan tertentu, maksudnya ahli waris yang telah ditetapkan oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari furudul muqaddarah dalam pembagian harta peninggalan.

Ashabul furud ada dua macam:
1. Ashabul furudh sababiyyah
Yaitu ahli waris yang disebabkan oleh ikatan perkawinan. Yakni:
- Suami;
- Isteri;
2. Ashabul furudh nasabiyyah
Yaitu ahli waris yang telah ditetapkan atas dasar nasab. Yakni:
- Ayah;
- Ibu;
- Anak perempuan;
- Cucu perempuan dari garis laki-laki;
- Saudara perempuan sekandung;
- Saudara perempuan seayah;
- Saudara laki-laki seibu;
- Saudara perempuan seibu;
- Kakek shahih;
- Nenek shahih;

Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:

a. Yang mendapat dua pertiga (2/3)
1. Dua anak perempuan atau lebih, bila tidak ada anak laki-laki (An-Nisa:11)
2. Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila anak perempuan tidak ada (An-Nisa:176)
3. Saudara perempuan sebapak, dua orang atau lebih (An-Nisa:176)

b. Yang mendapat setengah (1/2)
1. Anak perempuan kalau dia sendiri
2. Anak perempuan dari anak laki-laki atau tidak ada anak perempuan
3. Saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja, kalau saudara perempuan sebapak seibu tidak ada, dan dia seorang saja (An-Nisa:176)
4. Suami bila isteri tidak punya anak (An-Nisa:12)

c. Yang mendapat sepertiga (1/3)
1. Ibu, bila tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak ada pula dua orang saudara (An-Nisa:11)
2. Dua orang saudara atau lebih dari saudara seibu (An-Nisa:12)

d. Yang mendapat seperempat (1/4)
1. Suami, bila istri ada anak atau cucu (An-Nisa:12)
2. Isteri, bila suami tidak ada anak dan tidak ada cucu. Kalau isteri lebih dari satu maka dibagi rata (An-Nisa:12)

e. Yang mendapat seperenam (1/6)
1. Ibu, bila beserta anak dari anak laki-laki atau dua orang saudara atau lebih (An-Nisa:11)
2. Bapak, bila jenazah mempunyai anak atau anak dari laki-laki (An-Nisa:11)
3. Nenek yang shahih atau ibunya ibu/ibunya ayah.
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih) bila bersama seorang anak perempuan. Bila anak perempuan lebih dari satu maka cucu perempuan tidak mendapat harta warisan.
5. Kakek, bila bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, dan bapak tidak ada.
6. Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih), bila beserta saudara perempuan seibu sebapak. Bila saudara seibu sebapak lebih dari satu, maka saudara perempuan sebapak tidak mendapat warisan.

f. Yang mendapat seperdelapan (1/8)
1. Isteri (satu atau lebih), bila ada anak atau lebih.
C. ‘Ashabah

Menurut bahasa, ‘ashabah adalah kalangan kerabat laki-laki, yaitu anak laki-laki, ayah, dan kalangan kerabat laki-laki dari pihak laki-laki.
Sedangkan menurut istilah, ‘ashabah adalah orang yang mendapatkan harta warisan yang belum ditetapkan atau ahli waris yang tidak memiliki bagian tertentu.
‘Ashabah dibagi menjadi dua, yaitu:

1. ‘Ashabah Nasabiyyah
Adalah ahli waris ‘ashabah karena mempunyai hubungan nasab dengan orang yang meninggal. ‘Ashabah nasabiyyah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. ‘Ashabah bin Nafsihi
Yaitu ahli waris laki-laki yang dalam pertalian nasabnya dengan si mayit tidak diselingi oleh perempuan.

Jalur Ashabah bin Nafsihi:
- Jalur anak laki-laki, yaitu anak laki-laki si mayit dan anak turunan mereka yang laki-laki ke bawah;
- Jalur ayah, yaitu ayah si mayit dan ayahnya terus ke atas;
- Jalur saudara laki-laki, yaitu saudara laki-laki si mayit seayah dan seibu, saudara laki-laki si mayit yang seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seterusnya ke bawah;
- Jalur paman dari pihak ayah, yaitu paman si mayit dari pihak ayah yang seayah dan seibu dengan ayah, paman si mayit dari pihak ayah yang seayah saja, anak laki-laki paman yang seayah dan seibu dengan ayah, anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.
Jika ‘ashabah-ashabah ini saling berhimpitan, maka tata urutan yang harus didahulukan adalah sebagai berikut: jalur anak→jalur ayah→jalur persaudaraan→jalur paman.

b. ‘Ashabah bil Ghair
Yaitu ahli waris wanita yang menjadi ‘ashabah karena pihak lain, antara lain:
- Anak perempuan si mayit
Baik hanya satu orang atau lebih, mereka menjadi ‘ashabah karena seorang anak laki-laki si mayit atau lebih.
- Cucu perempuan dari anak laki-laki si mayit
Baik hanya satu orang atau lebih, mereka menjadi ‘ashabah karena seorang anak laki-laki si mayit atau lebih (baik saudara laki-laki si wanita atau anak laki-laki pamanya yang memiliki derajat sama).
- Saudara perempuan seayah dan seibu
Baik hanya satu orang atau lebih, mereka menjadi ‘ashabah karena seorang saudara laki-laki seayah stau lebih.
- Saudara perempuan seayah
Baik hanya satu orang atau lebih, mereka menjadi ashabah karena seorang saudara laki-laki seayah stau lebih.

c. ‘Ashabah ma’al Gahair
Yaitu semua ahli waris perempuan yang menjadi ‘ashabah bersama ahli waris perempuan yang lain. Mereka adalah saedara perempuan kandung atau seayah saja bersama anak perempuan.
Perbedaan antara ashabah bil ghair dan ashabah ma’al ghair adalah bahwa orang yang menjadikan ashabah bagi ahli waris yang lain adalah ashabah bin nafsihi sehingga ashabah itu meluas kepada ahli waris perempuan. Sementara itu, ashabah ma’al ghair pada dasarnya tidak menjadi ahli ashabah bin nafsihi, hanya saja terhimpun ahli waris-ahli waris wanita ini menyebabkan mereka menjadi ashabah.

2. Ashabah Sababiyyah
Ialah seseorang menjadi ahli waris karena ia membebaskan atau memerdekakan buadak/hamba sahaya baik laki-laki maupun perempuan. Apabila hamba sahaya yang telah dibebaskan tersebut meninggal dunia maka ia mendapatkan warisan sebagai ashabah.




BAB III
KESIMPULAN
Furudul Muqaddarah ada enam macam:
1. Dua pertiga (2/3)
2. Setengah (1/2)
3. Sepertiga (1/3)
4. Seperempat (1/4)
5. Seperenam (1/6)
6. Seperdelapan (1/8)
Sedangkan ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian dari furudul muqaddarah adalah:
Pihak laki-laki:
- Ayah;
- Kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas;
- Suami;
- Saudara laki-laki seibu;
Pihak perempuan:
- Anak perempuan;
- Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan dari anak laki-laki) dan terus kebawah sejauh pertaliannya dengan yang meninggal masih laki-laki;
- Ibu;
- Nenek dari pihak ayah dan seterusnya keatas sebelum berselang perempuan;
- Saudara perempuan seibu dan seayah;
- Saudara perempuan yang seayah saja;
- Saudara perempuan yang seibu saja;
- Isteri;
‘Ashabah dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ashabah sababiyyah
2. Ashabah nasabiyyah yang terbagi menjadi 3 macam:
a. ‘Ashabah bin-nafsi
b. ‘Ashabah bil ghair
c. ‘Ashabah ma’al ghair
DAFTAR PUSTAKA

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azam, 2007
Ramulyo, Idris M, DR. SH., Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1992.
Rusyd, Ibnu., Bidayatul Mujtahid, Semarang: As-Syifa, 1990.
Thalib, Sajuti, SH., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1981.
Z, Zurinal, Hj. Dr., Aminudin, M.Ag, Fiqih Ibadah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
.

SPI

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu bukti kecintaan umat islam terhadap agamanya ialah dengan mempelajari sejarah dan pendidikan itu sendiri, kerena dengan cara itu umat islam dapat berinovasi dan melahirkan karya-karya baru guna kemajuan peradaban islam.
Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai teciptanya salah stu maha karya umat islam yaitu munculnya madrasah yang melahirkan individu-individu yang beriman dan berpengetahuan luas.
Madrasah merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan dan khan sebagai asramanya, Masjid Khan yang menjadi cikal bakal madrasah dan Fiqih merupakan bidang studi utama.

















BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN MADRASAH

A. Pengartian Madrasah
Ada beberapa pengertian mengenai madrasah, salah satunya adalah:
Madrasah merupakan isim makan dari fi’il madhi dari darasa, mengandung arti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dengan demikian, secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal dan memiliki konotasi spesifik. Madrasah itu sendiri merupakan institusi peradaban Islam yang sangat penting .
Madrasah merupakan isim makan dari “darasa” yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Istilah madrasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan islam).
Sedangkan Nakosteen dan beberapa sarjana lain, menerjemahkan kata madrasah dengan university. Walaupun tidak terlalu tepat, tapi sedikitnya dapat mewakili. Sebab ada tiga perbedaan mendasar antara madrasah dengan universitas.
1. Kata universitas dalam pengertian yang paling awal mengacu pada civitas akademika, sedangkan madrasah mengacu pada sarana dan prasarana.
2. Universitas bersifat hirarkis sedangkan madrasah bersifat individualistis dan personal.
3. Izin mengajar pada universitas dikeluarkan oleh komite sedangkan pada madrasah ijazah dikeluarkan oleh Syaikh.
B. Sejarah Kelahiran Madrasah
Sebelum membahas lebih jauh tentang pertumbuhan madrasah, terlebih dahulu akan dikemukakan periodisasi pendididkan islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Zuhairini yang memabaginya kepada lima periode:
1. Periode pembinaan pendidikan Islam, yaitu pada masa Rosulullah SAW
2. Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yaitu pada masa Rosulullah SAW sampai masa Bani Umayah.
3. Periode kejayaan pendidikan Islam, yaitu pada masa Abassiyah samapai jatuhnya Baghdad dengan timbulnya madrasah dan puncak budaya Islam.
4. Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu jatuhnya Baghdad sampai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon.
5. Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yaitu pada masa Mesir dipegang oleh Napoleon sampai dengan kini.
Dengan periodisasi diatas dapat diasumsikan bahwa pembahasan ini berada pada periode ketiga, yaitu pada masa Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad.
Ada bebrapa faktor yang mendukung timbulnya madrasah salah satunya faktor politik. Kesatuan politik yang hampir terwujud seperti telah dipelihara oleh khalifah Sunni di Baghdad, terpecah ketika khalifah Syiah didirikan di Kairo sebelum abad ke 4 Hijriah.
Khalifah-khalifah saingan di Kairo mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi dan mereka memperkuatnya melalui pendidikan yang terencana yang diselenggarakan oleh Negara. Pendidikan ini dirancang untuk keperluan orang-orang dewasa yang disebarluaskan dari sebuah lembaga pusat yang dikenal dengan nama Dar Al-Ilmi. Sebuah masjid yang didirikan sebelah Kairo tersebut segera digunakan untuk tempat belajar menurut doktrin penguasa baru. Masjid ini sekarang dikenal dengan Al-Azhar, yang dipandang sebagai Universitas tertua di dunia.
Belajar dari langkah-langkah yang ditempuh di Kairo, Baghdad tidak mau ketinggalan. Meskipun sedikit terlambat, Baghdad menanggapi tantangan pendidikan itu dengan langkah yang sama pada abad ke 5 H, yaitu mendirikan sebuah lembaga pendidikan baru yang bernama madrasah. Serupa dengan apa yang dilakukan oleh kubu saingannya, lembaga madrasah itu didirikan oleh Negara guna menyebarluaskan dogma penguasa.
Lawan politik Dinasti Saljuk yang Sunni adalah Dinasti Fatimiyah di Mesir yang beraliran Syiah. Ketetapan awal untuk membina lembaga pendidikan dalam hal ini madrasah ialah karena suatu pertimbangan bahwa untuk melawan Syiah tidak cukup dengan kekuatan senjata, melainkan juga harus dengan melalui penanaman ideologi yang dapat melawan ideologi Syiah. Pertimbangan ini dilakukan karena Syiah sangat aktif dan sistematik dalam melakukan indoktrinisasi melalui pendidikan atau aktifitas pemikiran yang lain. Ini pula yang melatarbelakangi lahirnya madrasah dengan tujuan melawan pengaruh Syiah dan memperkuat posisi Sunni.
Selain dari pada itu ada bebrapa pendapat yang digunakan dalam memandang sejarah dan motivasi pendirian madrasah. Menurut Al-Makrizi, ia berasumsi bahwa madrasah pertama adalah Madrasah Nijhamiyah yang didirikan tahun 457 H. Pendapat ini dibantah oleh Hasan dengan mengajukan argumentasi bahwa belakangan membuktikan sebelum berdirinya Dinasti Saljuk telah dikenal secara luas di daerah Naisyapur. Dibawah naungan Dinasti Smaniyah (204-395 H/819-1005 M) berkembang menjadi salah stu pusat budaya dan pusat pendidikan terbesar di Dunia Islam sepanjang abad ke-4 H/10 M dan telah banyak madrasah sebelum era Nidzam Al-Mulk. Pendapat ini diperkuat oleh Ghanimah yang menyatakan bahwa pada abad ke-4 telah muncul madrasah di Nisyapur karena banyak bukti yang signifikan tentang hal itu. kemudian juga ada yang berpendapat bahwa madrasah sudah eksis semenjak awal islam seperti Bait al-Hikmah yang didirikan Al-Makmun di Baghdad abad ke-3 H.
Dari informasi yang diterima diatas dapat diketahui, bahwa madrasah yang pertama di Nisyapur. Namun demikian, madrasah itu kurang dikenal mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri pada waktu itu masih bersifat ahliyah (keluarga), berdasarkan wakaf keluarga dan sejarah baru mencatat sesuatu bila telah menjadi fenomena yang meluas. Disamping itu, tidak ada campur tangan dari penguasa sebagaimana halnya Madrasah Nijhamiyah, sehingga tidak disangka bahwa pengaruh Madrasah Nijhamiyah melampaui pengaruh madrasah-madrasah sebelumnya.
Lahirnya pendidikan formal dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari system pengajaran dan pendidikan yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid.
Dalam pandangan Hasan Ashari bahwa madrasah merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan dan khan sebagai asramanya. Asumsi ini diperkuat oleh Makdisi, antara lain bahwa Masjid Khan yang menjadi cikal bakal madrasah dan fiqih merupakan bidang studi utama.
Selanjutnya Zuhairini mengemukakan alasan-alasan berdirinaya madrasah diluar masjid, diantaranya:
1. Halaqah-halaqah (kelompok studi) yang di selenggarakan di masjid sering menggangu orang yang beribadah.
2. Berkembangnya ilmu pengetahuan melahirkan banyak halaqah yang tidak tertampung di masjid
3. Ketika bangsa Turki mulai berpengaruh dalm pemerintahan Bani Abasiyah dan dalam rangka mempertahankan status quo. Mereka berusaha menarik hati dengan memperhatikan pendidikan dan pengajaran guru-guru digaji dan dibri fasilitas yang layak.

C. Sistem Pendidikan Madrasah
Hasan Abdul Al-’Al mengemukakan lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut: sistem pendidikan Mu’tajilah, sistem pendidikan Ikhwan Al-Shafa, sistem pendidikan bercorak filsafat, sistem pendidikan bercorak tasawuf, dan sistem pendidikan bercorak fiqih. Institusi yang dipakai masing-masing sebagai berikut:
1. Filosof menggunakan Daar al-Hikmah, al-Muntadiyat, Hawanit dan Waraqi’in.
2. Muntashawif menggunakan al-Zawaya, al-Ribath, al-Masajid, dam Halaqat al-Dzikr.
3. Syi’iyyin menggunakan Daar al-Hikmah, al-masajid, pertemuan rahasia.
4. Mutakallim menggunakan al-Masajid, al-Maktabat, Hawanit, dan Waraqi’in serta al-Muntadiyat.
5. Fuqaha dan ahli hadis menggunakan al-Katadit, al-Madaris, dan al-Masajid.
Melihat data diatas jelaslah bahwa madrasah merupakan tradisi system pendidikan bercorak fiqih.

BAB II
KESIMPULAN
Motivasi yang mendasari kelahiran madrasah, yaitu selain motivasi agama dan motivasi ekonomi karena berkaitan dengan ketenagakerjaan, juga motivasi politik. Madrasah sebagai sebuah institusi pendidikan yang lahir karena kondisi actor politik pada masa itu yang mendukung lahirnya madrasah disamping actor-faktor lainnya. Dengan berdirinya madrasah maka pendidikan islam memasuki periode baru, yaitu pendidikan menjadi fungsi bagi Negara dan madrasah-madrasah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sekterian dan indoktrinasi politik.
Meskipun madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran di Dunia Islam baru timbul sekitar abad ke-4 H. Ini bukan berarti bahwa sejak awal perkembangannya islam tidak mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran.
Pada periode awal telah berdiri beberapa madrasah yang menjadi cikal bakal munculnya madrasah Nijhamiyah madrasah-madrasah tersebut berada di wilayah Persia, tepatnya di daerah Nisyapur, misalnya Madrasah Al-Baihaqiyah, Madrasah Sa’idiyah dan madrasah yang terdapat di Khurasan.

DAFTAR PUSTAKA

Alavi, Ziaudin, Muslim Educational Though In the Middle Ages, Terj. Abudin Nata, (Canada: Montreal, 2000)
Ashari, Enslikopedi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I hlm. 240
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’i (al-Qahirah: al-Nahdhah al-Mishriyah, 1967) Cet. I Juz IV hlm. 452
Poerwadinata, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: 1990 hlm. 618.
Syalaby, Ahmad, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Al-Qahirah: Kasyaf li al-Nasr wa al-Thiba’ah wa al-Tauzi’, 1954) hlm.99
Zuhairini, at. Al, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1997) Cet. Ke 5 hlm. 100



MASA KEMAJUAN ISLAM
ZAMAN KHALIFAH RASYIDAH

A. Abu Bakar Sidiq ( Masa Pemerintahan 632-634 M )

Abu Bakar Sidiq disebut sebagai Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugs-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Bentuk pemerintahan yang dianut oleh Abu Bakar bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat bersarnya bermusyawarah.
Dalam jangka waktu dua tahun tersebut banyak sekali jasa-jasa beliau, antara lain:
1. Memerangi orang-orang murtad yang dipimpin oleh Khalid bin Walid yang kemudian dikenal dengan perang Riddah (perang melawan kemurtadan)
2. Melakukan ekspansi/perluasan wilayah dalam rangka penyebaran Islam ke Al-Hirrah suatu daerah di Irak yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, kemudian pada tahun 634 M dapat dikuasai daerah tersebut.
3. Ekspansi ke Syiria yang di pimpin oleh empat jendral, yaitu Abu Ubaidillah, Amr bin ‘Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil.
Ketika barisan terdepan tentara muslim sedang mengancam Palestiana, Irak dan kerajaan Hirrah, Abu Bakar dipanggil menghadap Allah SWT. Kemudian beliau digantikan tangan kanannya yaitu Umar bin Khatab.

B. Umar bin Khathab ( Masa Pemerintahan 13-23 H/634-644 M )

Pada saat Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan uamat Islam.
Seperti halnya pada zaman Abu Bakar, Umar juga melakukan ekspansi kebeberapa daerah, yaitu:
1. Pada tahun 635 M melakukan ekspansi ke Damaskus, ibu kota Syiria.
2. Pada tahun 636 M seluruh wilayah Syiria dapat dikuasai setelah mengalahkan tentara Biantium dalam pertempuran Yarmuk.
3. Pada tahun 637 M tentara Islam dibawah pimpinan Saad bin Abi Waqash dapat menaklukan Al-Qadisiyah sebuah kota dekat Hirrah di Irak. Pada thun itu juga Al-Madain Ibu kota Persia dapat ditaklukan.
4. Pada tahun 641 M tentara Islam dibawah pimpinan Amru bin Ash dapat menuasai Iskandaria, ibu kota Mesir.
5. Pada tahun 641 M Mosul dapat di taklukan.
Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.
Selain melakukan perluasan wilayah, Umar juga melakuakan beberapa pembenahan, yaitu:
1. Mengatur administrasi Negara
2. Membagi 8 wilayah Propinsi (Mekkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Palestian dan Mesir)
3. Mendirikan beberapa departemen
4. Membentuk system pembayaran gaji dan pajak tanah
5. Mendirikan pengadilan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dan eksekutif
6. Membentuk kepolisian guna menjaga keamanan dan ketertiban
7. Membentuk jawatan pekerjaan umum
8. Mendirikan Bait al Mal
9. Menempa mata uang
10. Menciptakan tahun Hijriyah
Masa jabatan Umar berakhir dengan kematian, dia dibunuh seorang budak dari Persia yang bernama Abu Lu’lu’ah, kemudian kepemimpinan Islam di pegang oleh Usman bin Afan.

C. Usman bin Afan (Masa Pemerintahan 644-655 M)

Pada masa pemerintahan Usman ekspansi Islam pertama berhenti sampai disini, namun pada saat itu juga bertambah daerah kekuasaan Islam, seperti Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhides, Transoxania, Tabaristan dan bagian yang tersisa dari Persia.
Selama dua belas tahun berkuasa dengan system pemerintahan yang sangat berbeda denga Umar di karenakan sifatnya yang lemah lembut, muncullah berbagai pemberontakan yang kecewa terhadap kebijakan yang dilakukan Usman.
Salah satu factor yang menyebabkan banyak raskyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaanya mengangkat keliarga dalam kedudukan tertinggi. Yang terpening diantaranya Marwah ibn Hakam, dialah pada dasranya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar khalifah. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M Usman di bunuh oleh kaum pemberontak.
Dengan mengesampingkan itu semua banyak sekali jasa-jasa yang dilakukan Usman dalam membangun peradaban Islam, antara lain:
1. Membangun bendungan utuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur arus air ke kot-kota.
2. Membangun jalan-jalan
3. Membangun jembatan-jembatan
4. Membangun masjid-masjid
5. Memperluas masjid Nabi di Ma

D. Ali bin Abi Thalib


BAB II
PERAN NEGARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
SETELAH KEMERDEKAAN

A. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada kabinet pertama, K.H. Dewantara duduk sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK). Dalam rapatnya tanggal 27 Desember 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP. KNIP) mengusulkan kepada Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) supaya mengusahakan pembaruan pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Saran Badan Pekerja itu adalah sebagai berikut:
“Pengajaran Agama hendaklah mendapat tempat teratur seksama, sehingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Tentang cara melakukan hal ini, Kementrian mengadakan perundingan dengan Badan Pekerja. Madrasah dan Pesantren-pesantren yang pada hakikatnya satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah juga mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.”

Karena keadaan Negara pada waktu itu baru merdeka, maka pergantian Kabinet sering terjadi. Selama periode 1945-1959 terjadi beberapa pergantian Kabinet, akibatnya program-program yang sudah tersusun termasuk program Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tidak dapat berjalan dengan baik. Akhirnya saran BP. KNIP itu baru dapat dilaksanakan pada masa Menteri PPK dipegang oleh MR. Suwandi (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), dengan membentuk Panita Penyelidik Pengajaran dibawah pimpinan K.H. Dewantara. Panitia itu antara lain menetapkan bahan pengajaran agama. Hasil kerja Panitia Penyelidik Pengajaran itu menyangkut pendidikan agama, antara lain:

1. Hendaknya pelajaran agama diberikan pada semua sekolah dalam jam pelajaran dan di SR (Sekolah Rakyat) diajarkan mulai kelas IV.
2. Guru agama disediakan oleh Kementrian Agama dan dibayar oleh pemerintah.

Sementara itu dengan penetapan Pemerintah No. 1 tanggal 3 Januari 1946, didirikan Kementrian Agama. Dan Menteri Agama pada tanggal 20 Nopember 1946 mengeluarkan keputusannya nomor 1185/K.J, menetapkan bahwa bagian C (pada Kementrian Agama) melaksanakan kewajiban-kewajiban antara lain:
a. Urusan pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Keristen;
b. Urusan pengangkatan guru-guru agama;
c. Urusan pengawasan pelajaran agama;

Setelah itu dikeluarkan peraturan bersama antara menteri PPK dan Menteri Agama, yang intinya menyapakati adanya pengajaran agama di Sekolah-sekolah Rendah sejak kelas IV dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1947. Peraturan bersama inilah yang dapat dianggap sebagai landasan hukum pertama mengenai adanya penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri oleh instansi Negara. Dari situ kita mengetahuai bahwa secara resmi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri di Indonesia telah ada sejak tanggal 1 Januari 1947. Pada waktu itu pendidikan agama baru diberikan di tingkat sekolah rendah, yang sekarang disebut Sekolah Dasar dan belum berlaku bagi sekolah-sekolah partikelir (swasta).

Untuk menyempurnakan peraturan bersama tersebut, Menteri PPK dan Menteri Agama mengeluarkan peraturan bersama kembali antara tahun 1951 yaitu nomor 17678/Kab. Tanggal 16 Juli 1951 mengenai penyelenggaraan pendidikan agama sejak kelas I Sekolah Rendah pada lingkungan-lingkungan istimewa, dan pendidikan agama perlu diberikan juga di sekolah-sekolah partikelir dengan pembiayaan dari pemerintah.

Langkah penyempurnaan selanjutnya tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) nomor II tahun 1960 Bab II pasal 2 ayat 3, yang menyatakan bahwa pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai Universitas, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta apabila walimurid/murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun pada perkembangannya kata-kata dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta apabila walimurid/murid dewasa menyatakan keberatannya dihapus melalui ketetapan MPRS nomor XXVII tahun 1966, karena pemerintah menyadari bahwa pendidikan agama sangatlah penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jadi pada masa Orde Lama pendidikan Islam formal sudah mulai terlembagakan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tingkat dasar sampai menengah sudah dinamai madrasah sedangkan perguruan tinggi dinamai Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Nama madrasah pada masa ini sangat beragam seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Wajib Belajar, dan Sekolah Dasar Islam, sedangkan tingkat perguruan tinggi saat itu bernama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di Yogyakarta yang kemudian dilebur menjadi IAIN.

B. Pendidikan Islam Pada masa Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru kebijakan pendidikan Islam masih melanjutkan kebijakan Orde Lama, yaitu belum dipandang sebagai bagian dari sistem Pendidikan Nasional. Ini didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan islam yang terlembaga dalam madrasah-madrasah masih dilaksanakan secara tradisional. Untuk masuk kewilayah ini, pemerintah menempuh cara formalisasi pada sebagian lembaga-lembaga itu. Formalisasi ditempuh dengan mengerikan sejumlah madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah dengan kriteria tertentu sesuai yang diatur pemerintah, disamping mendirikan madrasah-madrasah negeri yang baru. Usaha formalisasi didikuti pula dengan penyusunan kurikulum dan memberlakukannya pada tahun 1971 yang setelah disempurnakan kemudian dikenal dengan kurikulum 1973. Setelah kurikulum tahun 1973, pada masa berikutnya lahir kurikulum tahun 1978, tahun 1984, tahun 1986, dan tahun 1994 sebagai penyempurna terhadap kurikulum lama dan penyesuaian terhadap peraturan baru.
Dari sisi kebijakan pemerintah yang dikeluarkan, pendidikan Islam Indonesia telah banyak mendapatkan perhatian. Banyak peraturan perundang-undangan mulai dari Tap. MPRS, Tap. MPR, Undang-undang, Keputusan dan Instruksi Presiden, sampai Kerputusan Menteri yang memberikan dasar hukum untuk mengatur pendidikan Islam. Peraturan tersebut apabila dijabarkan antara lain:
1. Tap. MPRS No. 28 tahun 1966.
2. SKB Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan & Kebudayaan) tahun 1975.
3. SKB Dua Menteri (Menteri Agama dan Menteri Pendidikan & Kebudayaan) tahun 1984.
4. UU No. 2 tahun 1989.
5. Tap. MPR No. 2 tahun 1990.
6. PP No. 28 tahun 1990.
Tap. MPRS No. 28 tahun 1966 memiliki perhatian yang culup maju terhadap pendidikan agama, namun perhatian ini masih dalam kerangka tujuan Pendidikan Nasional yaitu membentuk manusia Pancasila sejati. Bunyi pasal tersebut adalah:
1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Dengan dikeluarkannya ketetapan tersebut, maka sejak tahun 1966 ini pendidikan agama menjadi materi yang wajib diberikaan di setiap sekolah mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi sekaligus juga sebagai syarat kelulusan ujian akhir. Senada dengan peraturan sebelumnya, Undang-undang No. 2 tahun 1989 juga masih bersifat Pancasilaistis.
Sedangkan kebijakan yang banyak menimbulkan kontroversi adalah Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tntang Tanggung-jawab Fungsional dan Latihan. Salah satu bunyi Undang-undang tersebut bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung-jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejujuran. Dua tahun kemudian, Kepres itu di pertegas dengan Inpres No. 15 tahun 1974 sebagai aturan pelaksanaanya. Jika mengacu kepada ketentuan ini, maka penyelenggaraan pendidikan umum dan kejujuran termasuk di dalamnya pendidikan agama, sepenuhnya menjadi berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit peraturan ini mengharuskan penyerahan penyelenggaraan madrasah kepada Kementrian P & K. fenomena ini menimbulkan ketegangan yang cukup keras antara institusi pendidikan agama dengan pendidikan nasional yang sekaligus mengindikasikan belum eksisnya pendidikan agama seperti halnya pendidikan umum pada masa itu. Bahkan, dengan peraturan tersebut institusi pendidikan agama terancam gulung tikar.
Tentu saja peraturan tersebut mengundang reaksi dari segenap umat Islam yang melihat gejala tidak menguntungkan tersebut, kemudian umat islam saat itu mendesak untuk dilakukan peninjauan ulang terhadap kedua peraturan tersebut. Untuk mengatasi kekhawatiran dan tuntutan umat islam, maka Presiden mengeluarkan petunjuk pelaksanakan yang menyatakan bahwa pembinaan pendidikan umum adalah tanggungjawab P & K, sedangkan tanggunjawab pendidikan agama menjadi tanggungjawab Menteri Agama. Selain itu, dalam petunjuk pelaksanaan tersebut juga disebutkan bahwa untuk melaksanakan Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 diperlukan kerjasama yang sebaik-baiknya antara Departemen P & K, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama. Sebagai solusinya, berdasarkan hasil sidang cabinet terbatas tanggal 26 Nopember 1974 akhirnya keluarlah SKB 3 Menteri untuk mengatur kebijakan oprasional yang terkait dengan Kepres dan Inpres itu.

Rujukihdad

RUJUK DAN IHDAD

A. Rujuk

1. Pengertian Rujuk

Menurut Bahasa Arab rujuk berasal dari kata raja’a _ yarji’u _rujk’an yang berarti kembali. Sedangkan menurut istilah para Ulama mendefinisikan sebagai berikut:
Ulama Hanafiyah memberi definisi rujuk sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah,
“Rujuk ialah melestarikan perkawinan dalam masa iddah talak (raj’i)”

Menurut Asy-Syafi’i:
“Rujuk ialah mengembalikan setatus hukum perkawinan sebagai suami istri di tengah-tengah iddah setelah terjadinya talak (raj’i)”

Jadi dapat dirumuskan bahwa rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu.

2. Hukum Rujuk

Hukum rujuk ada empat macam, yaitu sebagai berikut:

- Haram; apabila dengan rujuk tersebut istri merasa dirugikan, misalnya lebih menderita hidupnya dibandingkan sebelum rujuk.

- Makruh; apabila diketahui bahwa meneruskan perceraian lebih baik bagi keduanya, dibanding dengan melakukan rujuk.

- Sunnat; jika diketahui rujuk lebih bermanfaat bagi keduanya diabanding meneruskan perceraian.

- Wajib; khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika salah seorang ditalak sebelum gilirannya disempurnakan.

Namun demikian, hukum asal rujuk adalah mubbah (boleh), sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:

“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki islah”

a. Rujuk pada Talak Raj’i

Yang dimaksud dengan talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, baik talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.

Jadi jika mantan suami hendak merujuk kembali mantan istrinya, ia tidak memerlukan pembaruan serta tidak memerlukan mahar. Proses merujuknya mantan suami terhadap mantan istrinya yang disebabkan karena talak raj’i itu harus dalam masa iddah atau sebelum masa iddah berakhir, karena jika telah berakhir masa iddah itu termasuk talak bain, kemudian jika mantan suami ingin kembali kepada mantan istrinya ia harus melakukan akad nikah yang baru lagi.

b. Rujuk pada Talak Bain

Talak bain adalah talak yang tidak memberi hak merujuk bagi mantan suami terhadap mantan istrinya. Untuk mengembalikan mantan istrinya kedalam ikatan perkawinan dengan mantan suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan syarat dan rukunya.

Talak bain ada dua macam, yaitu bain shugro dan bain kubro. Yang termasuk talak bain shugro ialah talak sebelum berkumpul, khulu, talak karena aib (cacat tubuh), talak karena penganiayaan atau yang semacamnya. Sedangkan talak bain kubro ialah talak yang dijatuhkan yang ketiga kali atau tiga kali sekaligus dari suami kepada istrinya.

Jadi sudah jelas jika mantan suami ingin kembali kepada mantan istrinya yang dalam keadaan talak bain shugro, ia harus mengadakan akad nikah baru dengan mantan istri, baik dalam masa iddah maupun sesudah berakhir masa iddahnya. Akan tetapi apabila mantan istri itu dalam keadaan talak bain kubro, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali mantan istri telah menikah lagi dengan orang lain dan telah digauli pula (oleh suami lain). Berdasarkan hadis dari Rifa’ah bin Sama’ual yang artinya:
“Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, Tamimah bnti Wahb pada masa Rasulullah tiga kali, maka Tamimah menikah dengan Abdurrahman ibn Zubair. Kemudian Abdurrahman berpaling daripadanya tanpa dapat menggaulinya, lalu Tamimah pun menceritakannya. Maka Rifa’ah bermaksud hendak menikahinya kembali. Akan tetapi Rasulullah berkata kepadanya: “Tamimah tidak halal bagimu sehingga ia merasakan nikmatnya madu (berjima’ dengan suami lain)


3. Rukun dan Syarat Rujuk

Rukun rujuk pada dasarnya ada empat:
a. Suami, syaratnya: merdeka, dan atas dasar kehendak sendiri/bukan paksaan

b. Istri; disyaratkan:
* Dalam keadaan talak raj’i, jika dalam keadaan talak bain atau talak tebus (khulu) maka tidak boleh di rujuk, melainkan dengan nikah kembali setelah memenuhi ketentuan syara.
* Terjadinya rujuk harus pada waktu istri masih dalam keadaan iddah
* Sudah disetubuhi, karena istri yang ditalak sebelum di setubuhi tidak mempunyai iddah
* Jelas orangnya, artinya istri yang akan dirujuk itu orangnya ada dan dalan jangkauan suami.

c. Sigat
Para ulama berbeda pendapat tentang cara merujuk. Menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa rujuk hanya dapat terjadi dengan kata-kata saja. Sedangkan fuqaha yang lain berpendapat bahwa merujuk harus dengan menggauli istri.

d. Saksi; syaratnya dua orang saksi yang adil dan berakal sehat.

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai saksi, apakah menjadi syarat sahnya rujuk atau tidak. Menurut Imam Malik berpendapat bahwa adanya saksi dalam merujuk disunatkan, sedangkan menurut Imam Syafi’i bahwa saksi itu wajib.

4. Hikmah Rujuk

• Dapat menjalin kembali ikatan perkawinan yang sempat terputus kerena jatuhnya talak
• Dapat menjalin kembali tali silaturahmi dan kasih sayang yang sempat terprutus
• Memberikan pelajaran berharga bagi kedua belah pihak, untuk keduanya bersikap mawas diri dalam menjalankan kehiduan berumah tangga
• Menyelamatkan mental dan jiwa anak-anak yang sempat terguncang oleh perceraian orangtuanya


B. Ihdad

1. Pengertian Ihdad

Yang dimaksud dengan ihdad adalah masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Berdasarkan hadits Rasululah masa tersebut adalah 40 bulan 10 hari dengan larangan-larangannya antara lain: bercelak mata, berhias diri dan keluar rumah kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Kaum muslimin telah sepakat bahwa ihdad wajib hukumnya atas muslimah sebagaimana apa yang telah dijelaskan oleh Ibnu Rusyd.

Ihdad diwajibkan atas wanita muslimah dan ahli kitab, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa. Dan adapun mengenai perempuan yang ditinggal mati oleh tuannya, baik posisinya sebagai ummul walad (hamba perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya) atau bukan, maka tidak diwajibkan berihdad.

Akan tetapi berkenaan dengan pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa perempuan ahli kitab wajib berihdad di tentang oleh dua orang muridnya sendiri yaitu: Ibn Nafi’ dan Asyhab di perkuat dengan pendapat Imam Syafi’i yakni bahwasannya tidak diwajibkan berihdad bagi perempuan ahli kitab. Juga pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa wanita muslimah yang masih kecilpun wajib berihdad di tentang oleh pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa tidak ada kewajiban atas wanita yang masih kecil dan wanita ahli kitab.

Demikianlah silang pendapat para fuqaha yang terkenal berkenaan dengan perempuan-perempuan yang wajib berihdad dan perempuan-perempuan yang tidak wajib berihdad. Dan mengenai silang pendapat para fuqaha berkenaan dengan masalah ihdad, Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada kewajiban berihdad kecuali pada iddah kematian suami. Imam Abu Hanifah dan Ats-Tsauri berpendapat bahwa selain iddah pada kematian suami, Ihdad pun diwajibkan atas iddah karena mendapatkan thalaq ba’in dari suami
2. Hal-Hal yang Dilarang dan Diperbolehkan bagi Orang yang Berihdad

Kembali para fuqaha berpendapat bahwa perempuan yangsedang berihdad dilarang memakai pakaian yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya seperti intan permata, celak, dan pakaian yang sangat mencolok warnanya, kecuali hal-hal yang tidak dianggap sebagai perhiasan. Akan tetapi mengenai celak, mereka memberikan rukhshah, yakni boleh memakainya dengan syarat dalam keadaan sangat terpaksa seperti sakit mata dan lainnya yang mana jika mereka memakai celak dapat terhindar dari mudharat-mudharat tertentu. Akan tetapi ringkas dan atau kesimpulannya aalah dilarang bagi perempuan yang sedang berihdad untuk berdekatan atau pada prinsipnya semua perkara yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya.


Tentang masa berkabung, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam bab XIX, sebagai berikut :

Pasal 170
1. Istri yang di tinggal mati suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
2. Suami yang di tinggal mati oleh istrinya, melakukan masa bekabung menurut kepatutan.








DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an Al-Karim.
Ghazali Abdul Rahman, MA. Prof, Dr. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
As’ad, Mahrus., Wahid, A., Memahami Fiqih, Bandung: Armico, 1425 H

उशुल Fiqh

PENDAHULUAN

Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber hukum islam yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan umat islam, didalamnya terhimpun lafaz-lafaz yang agung dan terhimpun dalam berbagai macam bentuk kalimat yang mengandung makna-makna tertentu. Untuk itu dibutuhkan kajian khusus supaya diketahui apa sebenarnya makna dari lafaz-lafaz tersebut.

Dengan terdapatnya berbagai macam dan bentuk lafaz dalam nash (yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah) ini menunjukan betapa agungnya nash tersebut, karena tidak semua orang mampu mengungkap apa makna yang terkandung sebenarnya. Sehingga dengan sendirinya ini memotivasi umat islam yang berfikir untuk terus belajar dan berusaha mengungkap hal-hal tersebut, dan pada akhirnya nanti mampu menerangkan dan menjelaskan apa makna ajaran islam yang sesungguhnya.













SYIAGU ALFAZ NASH WA MA’ANIHA
(MACAM-MACAM BENTUK LAFAZ NASH DAN MAKNANYA)


A. Pengertian Macam-macam lafaz Nash dan maknanya
1. Lafaz Mutlaq dan Muqayyad
a. Lafaz Mutlaq
Kata mutlaq secara bahasa berarti tidak terikat dengan ikatan atau syarat tertentu. Sedangkan secara istilah lafaz mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafaz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafaz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Dengan kata lain lafaz mutlaq adalah lafaz yang menunjukan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu. Misalnya rajulun (seorang laki-laki), rijalun (banyak laki-laki), kitabun (buku), dan sebagainya.
Contoh lafaz mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafaz raqabah yang terdapat dalam firman Allah Q.S Al-Mujadallah:3





“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikian yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat ini terdapat kata raqabah (budak) yang posisinya merupakan sebagai lafaz mutlaq, setelahnya tidak dijelaskan budak yang seperti apa yang harus dibebaskan. Jadi kesimpulannya meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin maupun yang kafir.

Hukum Mutlaq:
Lafaz mutlaq yang terdapat dalam nash harus diamalkan sesuai dengan kemutlakannya kecuali bila ada dalil sebagai muqayyad. Misalnya seperti firman Allah yang telah disebutkan diatas. Sedangkan apabila ada dalil sebagai taqyid (pembatas) dari dalil yang mutlaq, maka diamalkan sesuai taqyidnya. Seperti firman Allah Q.S An-Nisa:11



“(Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sudah dibayar hutangnya.”

Kata wasiyyah pada ayat ini adalah mutlaq tanpa ada taqyid dari ayat lain, apakah seperempat, setengah atau sepertiga. Namun taqyid dari kemutlakan lafaz wasiyyah ini ditemukan dalam hadis Nabi SAW. Yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata: “Bagaimana seandainya seseorang mengurangi wasiat dari sepertiga menjadi seperempat? Nabi menjawab:


“Rasulullah SAW bersabda: Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.” (H.R Bukhari dan Muslim).


b. Lafaz Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, muqayyad adalah lafaz yang menunjukan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu. Misalnya ungkapan raqabatin mu’minah (hamba sahaya yang beriman).
Menurut Abu Zahrah pembatasan ini terdiri dari sifat, keadaan, ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya.
Misalnya penggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah Q.S An-Nisa:92



“Barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Kata raqabah dalam ayat ini adalah memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu mu’mianah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman.

Hukum Muqayyad:
Dalam pandangan ahli ushul fiqh, wajib mengamalkan muqayyad selama tidak ada dalil yang memalingkan pengamalan muqayyad kepada mutlaq.

2. Lafaz Mujmal dan Mubayyan
a. Lafaz Mujmal
Secara etimologi, kata mujmal berarti sesuatu yang dikeragui. Sedangkan secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefinisikan mujmal dalam berbagai macam. Menurut Imam Sarakashi mujmal adalah suatu lafaz yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang mengeluarkan lafaz mujmal itu dan melalui penjelasannya diketahui maksud lafaz tersebut. Menurut Wahbah al-Zuhaili mujmal adalah lafaz yang sulit dipahami maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang yang mengucapkan). Dan menurut Jalaluddin Abdurrahman mujamal adalah lafaz yang dilalahnya tidak jelas.
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafaz yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafaz tersebut.

Ada beberapa sebab suatu lafaz disebut mujmal, yaitu:
- Lafaz yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh qarinah (indikator).
Misalnya lafaz quru dalam Q.S al-Baqarah:228



“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”

Lafaz quru ini secara bahasa berarti suci (menurut Imam Syafi’i) dan haid (menurut Imam Abu Hanifah).

- Lafaz yang secara bahsa maknanya aneh atau ganjil, sehingga sulit untu dipahami.
Misalanya lafz haluu’ ( ), pada firman Allah Q.S Al-Ma’arij:19-21.
- Pemindahan lafaz dari makna kebahasaan menuju makna secara istilah atau menurut syara’, seperti lafaz shalat, zakat, puasa, dan haji.

b. Lafaz Mubayyan
Secara etimologi, kata mubayyan seakar dengan kata bayan yang berarti jelas atau terang. Sedangkan secara istilah, mubayyan adalah suatu lafaz yang dilalahnya telah jelas dengan memperhatikan maknanya.


Dilihat dari kejelasan maknanya, mubayyan terbagi menjadi dua bentuk.
→ Al-wadih bi nafsihi, yaitu lafaz yang telah jelas maknanya sejak awal penggunaannya sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari lafaz lain. Kejelasan lafaz ini diketahui melalui pendekatan bahasa, akal, dan ‘illat.
Misalnya kejelasan lafaz yang dapat diketahui dengan menggunakan akal, seperti dalam Q.S Yusuf:82


“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ.”

Apabila diperhatikan secara bahasa ayat ini memerintahkan untuk bertanya kepada kampung (negeri), hal ini tentu tidak logis. Oleh sebab itu akal dapat memahami bahwa yang diperintahkan sebenarnya adalah bertanya kepada penduduk yang tinggal dikampung tersebut.

→ Al-wadih bi ghairihi, yaitu untuk mengetahui maknanya perlu dibantu oleh lafaz lain.
Misalnya firman Allah SWT, dalam Q.S Al-Maidah:141


“Dan tunaikanlah haknya dari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya).”

Kata hak yang terdapat dalam ayat ini mengandung makna sesuatu yang memiliki sifat, maka penjelasannya dapat berupa kadar atau ukuran.

3. Lafaz Mantuq dan Mafhum
a. Lafaz Mantuq
Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukan oleh lafaz ketika diucapkan. Sedangkan secara istilah mantuq adalah penunjukan lafaz terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan.
Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua bagian:
→ Mantuq sharih, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi.
Misalnya dalam firman Allah SWT:


“Allah terlah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Al-Baqarah:275)

→ Mantuq ghair sharih, yaitu suatu perkataan yang menunjukan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada penta’wilan.
Misalnya dalam firman Allah SWT:


“Dan kekal wajah Tuhan engkau.” (Q.S Ar-Rahman:27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan Dzat, karena mustahil bagi Tuhan mempunyai wajah.
b. Lafaz Mafhum
Menurut ahli ushul fiqh, Mafhum adalah penunjukan lafaz yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukan lafaz yang tidak disebutkan.
Mafhum dapat dibedakan menjadi 2 bagian:
→ Mafhum muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafaz yang disebutkan.
→ Mafhum mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda dari pada ucapan, baik dalam istinbath (menetapkan) maupun naïf (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya dari pada bunyi yang diucapkan.

4. Lafaz Muradhif dan Musytarak
a. Lafaz Muradif
Pengertian muradhif adalah:

“Dua kata atau lebih yang artinga satu.” Atau dengan kata lain bisa disebut dengan sinonim.

Misalnya: , => singa

, , , => Pendidik (guru)

b. Lafaz Musytarak
Pengertian musytarak adalah:

“Satu lafaz mempunyai dua arti atau lebih.”
Misalnya:
 Suci, haidh.
 Pergi, hilang.
 Mata, sumber mata air, mata-mata.

B. Bentuk perintah (Al-Amru) dan Larangan (An-Nahyu)
1. Perintah (Al-Amru)
Menurut mayoritas ahli ushul fiqh, amru adalah suatu tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Perintah melakukan suatu perbuatan menurut Adib Saleh di dalam al-nushus disampaikan dengan berbagai redaksi, antara lain: Amara, Kutiba, Wajaba, Faradha, Fi’il mudhori’ yang disertai lam amar, dan sebagainya.
Misalnya dalam redaksi kutiba yang terdapat dalam Q.S Al-Baqarah:183




“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa.”

2. Larangan (An-Nahyu)
Nahi (an-Nahyu) adalah larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Khudari Beik berpendapat bahwa ada berbagai bentuk redaksi nash yang menunjukan larangan, antara lain: mengggunakan lafaz naha, menggunakan fiil mudhori’ yang disertai huruf la yang menunjukan larangan, dan sebaginya.
Misalnya yang menggunakan fiil mudhori’ yang disertai huruf la yang menunjukan larangan, hal itu terdapat dalam Q.S Al-Isra’:32



“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Para ahli ushul fiqh menetapkan sejumlah kaidah tentang nahi.

→ Hukum asal nahi menunjukan haram selama tidak ada indikasi yang menunjukan untuk hukum lain. Seperti yang terdapat dalam Q.S An-Nisa:29.
→ Nahi menghendaki perbuatan yang dilarang segera dan berkesinambungan ditinggalkan. Seperti yang terdapat dalam Q.S Al-Baqarah:221.



KESIMPULAN

Melalui pemaparan diatas, akhirnya kita semua bisa mengetahui bahwa di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan pusaka ummat muslim tersebut terdapat berbagai macam dan bentuk lafaz yang membutuhkan kajian khusus supaya diketahui apa maknanya sehingga dapat dimengerti apa maksud dan tujuannya.
Bentuk-bentuk lafaz ini antara lain:
1. Lafaz Mutlaq
2. Lafaz Muqayyad
3. Lafaz Mujmal
4. Lafaz Mubayyan
a. Al-wadih bi nafsihi
b. Al-wadih bi ghairihi
5. Lafaz Mantuq
a. Mantuq sharih
b. Mantuq Ghair sharih
6. Lafaz Mafhum
a. Mafhum muwafaqah
b. Mafhum mukhalafah
7. Lafaz Muradhif
8. Lafaz Musytarak
9. Bentuk Lafaz perintah (Al-Amru)
10. Bentuk Lafaz Larangan (An-Nahyu)

Dengan terdapatnya berbagai macam dan bentuk lafaz dalam nash (yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah) ini menunjukan betapa agungnya nash tersebut, karena tidak semua orang mampu mengungkap apa makna yang terkandung sebenarnya. Sehingga dengan sendirinya ini memotivasi umat islam yang berfikir untuk terus belajar dan berusaha mengungkap hal-hal tersebut, dan pada akhirnya nanti mampu menerangkan dan menjelaskan apa makna ajaran islam yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Syafi’i, Drs., Ushul fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2001. Cet I
Khallaf, Abdul Wahab, Prof. Dr., Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997.
Shidik, Safiudin, Drs, M.A.g., Ushul Fiqh, Intimedia.
Syarifudin, Amir, Prof. Dr., Ushul Fiqh, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004. Cet I

Ulumul

BAB I
PENDAHULUAN

Jumhur tokoh-tokoh hadits dan fikih sepakat bahwa seseorang yang bisa diterima periwayatannya adalah seorang rawi yang ‘adil (karakteristik moralnya baik). Yaitu dia harus seorang muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang bisa menyebabkan harga dirinya jatuh, dan dia meriwayatkan dalam keadaan sadar.
Lafadh “Jarh”, menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifst-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau teroak apa yang diriwayatkannya. Sedangkan memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men-ta’dil-kannya.
Al-Jarh dan at-Ta’dil adalah Ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus.
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. prinsip-prinsipnya telah tegak sejak masa sahabat. Tidak sedikit diantara mereka yang berbicara tentang para perawi. Banyak pula tabi’in dan generasi sesudah mereka yang berbicara tentang para perawi.
Adapun pendapat ulama yang menyatakan bahwa jarh harus didahulukan secara mutlak daripada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak daripada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil, adalah pendapat yang dipegang oleh para ulama ahli hadits, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin.










BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Al-Jarh wa At-Ta’dil

Secara etimologis, kata al-Jarh artinya cacat atau luka, dan at-Ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Sedangkan secara terminologis, kata al-Jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Dan at-Ta’dil berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwira’annya. Maka ilmu al-jarh wa at-Ta’dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang periwayat hadits.
Sedangkan ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-Ta’dil dalam satu pengertian, seperti yang didefinisikan oleh Dr. Subhi Ash-Shalih, yaitu; Ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus.
Dalam buku yang berjudul Ushul Al-Hadits karangan Dr. M. Ajaj al-Khatib telah disebutkan bahwa ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil merupakan ilmu hadits yang terpenting, teragung posisinya dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan dari yang sahih dan yang cacat, yang diterima dan yang ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh dan ta’dil memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.

B. Pertumbuhan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil

ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. karena untuk mengetahui khabar-khabar yang sahih diperlukan pengetahuan tentang para perawinya, yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu menilai kejujurannya ataupun kedusta’annya, sehingga mereka bisa membedakan antara yang bisa diterima dan yang ditolak. Oleh karena itu, mereka selalu bertanya tentang keadaan para perawi dan melakukan penelitian di sela-sela kehidupan intelektual mereka, dan mengenal lebih dekat semua hal-hal para perawi. Mereka melakukan penelitian yang amat cermat, sehingga mereka bisa mengetahui yang paling hafidz, yang paling kuat ingatannya dan yang paling lama bermujalasah dengan guru-gurunya.
Selain itu banyak pula khabar tentang pendapat-pendapat sahabat mengenai Jarh wa Ta’dil. Setelah sahabat, yang berbicara tentang para perawi adalah tabi’in, generasi sesudah tabi’in dan ahli ilmu sesudah mereka. Mereka menjelaskan hal ihwal para perawi, menkritik dan menta’dil mereka dengan niat mencari ridha Allah SWT., tak takut kepada siapapun dan tak terjerat rasa kasih sayang. Semua mereka maksudkan untuk mengabdi kepada syariat dan memelihara sumber-sumbernya. Sehingga mereka akan mengatakan sesuatu sejujur-jujurnya dan menata niat sebaik-baiknya.
Para imam hadits sangat cermat dalam menilai para periwayat. Setiap mihaddits akan mereka teliti sifat positif dan negatifnya. Imam asy-Syafi’I berkata, Demi Allah, seandainya saya menemukan kebenaran sebanyak sembilan puluh sembilan kali dan melakukan kesalahan sekali saja, maka mereka akan menilaiku berdasarkan yang satu kali itu.
Demikianlah, ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. prinsip-prinsipnya telah tegak sejak masa sahabat. Tidak sedikit diantara mereka yang berbicara tentang para perawi. Banyak pula tabi’in dan generasi sesudah mereka yang berbicara tentang para perawi.

C. Kitab-kitab Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil

Giatnya penyusunan karya-karya dalam bidang al-Jarh wa at-Ta’dil bisa dikatakan terjadi pada abad 2 H, yakni ketika kondifikasi ilmu marak di segenap penjuru wilayah Islam. muncullah koleksi-koleksi di berbagai bidang ilmu syari’at. Karya-karya awal itu merupakan benih-benih bagi karya-karya besar yang muncul sebelumnya.
Para penulis kitab-kitab al-Jarh wa at-Ta’dil berbeda-beda dala menyusun buku-bukunya. Sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai duapuluh ribu rijalus-sanad. Adapun kitab yang mula-mula sampai kepada kita di antaranya :
1. Ma’rifatu’r-rijal; karya Yahya Ibni Ma’in. juz pertama kitab ini, yang masih berupa manuskrib (tulisan tangan) berada di darul kutub Adh-Dhahiriyah.
2. Ad-Dlu’afa; karya Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhary (194-252 H). kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3. At-Tsiqat; karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H).
4. Al-Juhru Wa-Ta’dil; karya ‘Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H). ini merupakan kitab Jarih wa ta’dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H, kitab itu dicetak di India menjadi 9 jilid, yang satu jilid sebagai miqadimah.
5. Mizanul ‘Itidal; karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673-748 H). kitab itu terdiri dari 3 jilid dan mencakup 10.907 orang rijalus-samad.
6. Lisanul Mizan; karya al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalany (773-852 H). kitab ini dicetak di India pada tahun 1329-1331 H, terdiri dari 6 jilid dan memuat 14.343 orang rijalus-sanad.

D. Tingkatan dan lafadh-lafadh dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil

Lafadh-lafadh yang digunkan dalam mentajrihkan dan menta’dilkan itu bertingkat-tingkat, yaitu:
a. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu As-Shalah dan Imam Nawawi, lafad-lafadh itu disusun menjadi 4 tingkatan.
b. Menurut Al-Hafidh ad-Dahabi dan Al-Iraqi, lafadh-lafadh itu disusun menjadi 5 tingkatan.
c. Sedangkan menurut Ibnu Hajar menyusunya menjadi 6 tingkatan.

Susunan dan tingkatan lafadh-lafadh untuk mentajrihkan para perawi adalah sebagai berikut:
Pertama: menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk ‘afaluttafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
: orang yang paling dusta
: orang yang paling bohong
: orang yang paling top kebohongannya

Kedua: menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadh berbentuk shighat mubalagah. Misalnya:
: orang yang pembohong
: orang yang pendusta
: orang yang penipu

Ketiga: menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
: orang yang dituduh bohong
: orang yang dituduh dusta
: orang yang perlu diteliti
: orang yang ditinggalkan hadisnya

Keempat: menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
: orang yang dilempar hadisnya
: orang yang lemah
: orang yang ditolak hadisnya

Kelima: menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
: orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya
: orang yang munkar hadisnya
: orang yang kacau hadisnya
: orang yang banyak menduga-duga

Keenam: mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahanya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:
: orang yang didha’ifkan hadisnya
: orang yang diperbincangkan
: orang yang lunak
: orang yang tidak dapat digunakan hujah hadisnya
: orang yang tidak kuat

Orang yang ditajrih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar (tempat membandingkan).

Susunan dan tingkatan lafadh-lafadh untuk menta’dilkan para perawi adalah sebagai berikut:
Pertama: segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang brbentuk ‘afaluttafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:
: orang yang paling Tsiqah
: orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya
: orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
: orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah

Kedua: memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifat yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalnya:
: orang yang teguh (lagi) teguh
: orang yang tsiqah (lagi) tsiqah
: orang yang teguh (lagi) tsiqah

Ketiga: menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengadung arti kuat ingatan
: orang yang teguh (hati dan lidahnya)
: orang yang meyakinkan (ilmunya)
: orang yang hafidh (kuat hafalannya)

Keempat: menunjuk keadilan dan kedhabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
: orang yang sangat jujur
: orang yang dapat memegang amanat
: orang yang tidak cacat

Kelima: menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedhabitan. Misalnya:
: orang yang berstatus jujur
: orang yang baik hadisnya
: orang yang bagus hadisnya

Keenam: menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebuat diatas diikuti lafadh “insya Allah”, atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:
: orang yang jujur. Insya Allah.
: orang yang diharapkan tsiqah
: orang yang sedikit kesalahnnya

E. Perbedaan Pendapat dalam Kritik Hadis

Apabila terdapat ta’arudl antara Jarh dan Ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagain ulama yang lain men-tajrih-kan, dalam hal ini terdapat tiga pendapat :
1. Mendahulukan jarh daripada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak daripada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil.
2. Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang menta’dil lebih banyak. Karena banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang bersangkutan.
3. Bila jarh dan ta’dil bertentangan, maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya.

Diantara ketiga pendapat tersebut, pendapat yang pertamalah yang dipegang oleh para ulama ahli hadits, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Secara etimologis, kata al-Jarh artinya cacat atau luka, dan at-Ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Sedangkan secara terminologis, kata al-Jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Dan at-Ta’dil berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwira’annya. Maka ilmu al-jarh wa at-Ta’dil adalah suatu imu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima ata ditolak periwayatannya.
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. prinsip-prinsipnya telah tegak sejak masa sahabat. Tidak sedikit diantara mereka yang berbicara tentang para perawi. Banyak pula tabi’in dan generasi sesudah mereka yang berbicara tentang para perawi. Mereka menjelaskan hal ihwal para perawi, menkritik dan menta’dil mereka dengan niat mencari ridha Allah SWT., tak takut kepada siapapun dan tak terjerat rasa kasih sayang. Semua mereka maksudkan untuk mengabdi kepada syariat dan memelihara sumber-sumbernya. Sehingga mereka akan mengatakan sesuatu sejujur-jujurnya dan menata niat sebaik-baiknya.
“Mendahulukan jarh daripada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak daripada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil” adalah pendapat yang dipegang oleh para ulama ahli hadits, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin.
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil merupakan ilmu hadits yang terpenting, teragung posisinya dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan dari yang sahih dan yang cacat, yang diterima dan yang ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh dan ta’dil memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.







DAFTAR PUSTAKA


Rahman, Fathur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT. ALMA’ARIF, 1974.

Ranuwijaya, Utung. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.

Al-Khatib, Ajaj. Ushul Al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.

Al-Nawawi, Imam. Dasar-Dasar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Pelaku dosa besar

1. Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
(ومن لم يحكم بما انزل ال فأولئك هم الكافرون )المائدة: 44
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khwarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
2. Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.
3. Menurut aliran Mu’tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar,
Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al manzilah baial manzilataini. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada
diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun
demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
4. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5. Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.
6. Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraca, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah
zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin atha’, mempunyai hubungan dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin atho’2

C. Sifat-sifat Tuhan

1. Menurut aliran Mu’tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dan kaum
asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah
Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai
sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan.
Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada paham
banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of
eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham
syirik atau polyteisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam
teologi.
Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu’tazilah
mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini berarti bahwa Tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuatan dan
sebagainya. Tuhan tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah
sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah
Tuhan sendiri.
2. Menurut Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang
berlawanan dengan Mu’tazilah mereka dengan tegas
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari
bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan
nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan
sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai
pengetahuan, kemauan, dan daya.3
3. Aliran Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan alasy’ari,
seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat seperti sama’, basher dan sebagainya. walaupun
begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan alasy’ari.
Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan sebagai
esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah.
Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat
cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaannya almaturidi
mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu’tazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
4. Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah
senantiasa bersifat tahu, namun adapula sebagian dari mereka
berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun terhadap sesuatu
sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia
pun bersifat tahu, jika dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat
tahu, maka Allah berkehendak menurut merek adalah bahwa
Allah mengeluarkan gerakan (taharraka harkah), ketika gerakan
itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka
berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap
sesuatu yang tidak ada.
D. Iman dan kufur
1. Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya,
yaitu dosa besar agar dengan demikian orang Islam yang tidak
sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat
dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan
setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman, 2
orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan
orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan
orang-orang yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap
penguasa yang menyeleweng.
Dan iman menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan
iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut
Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya,
bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi
mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang
timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya iman
bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan6
2. Aliran Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka
yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang
menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau
merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna
dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah
mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah
menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya.7
3. Aliran Mu’tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan
dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan
perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan
seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini
dianut pula olah Khawarij.8
4. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara
esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan
kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’
(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang
membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa
dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan
seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu
dari hal-hal tersebut.9
5. Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan
lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia
mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan
mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini
juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan
manusia. yang penting tasdid dan ikrar.
E. Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
1. Aliran Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas
perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah
Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk
mewujudkan perbuatannya baik atau buruk.
Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak
berdaya, bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalang
yang memainkan wayang itu. Dalang manusia adalah Tuhan, ini
dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat, perbuatan
manusia tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi
manusia punya andil juga dalam dalam mewujudkan
perbuatannya.
2. Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak
atau memilih) dan qudrah (kemampuan untuk berbuat).
Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak
lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut.10
3. Aliran Mu’tazilah
10 Drs. H. M. Yusran Asmuni. Op.Cit. hal. 159-160
Paham ini dalam masalah af’al ibadah seirama dengan
paham Qadariyah untuk perbuatan-perbuatan Tuhan, mereka
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu
dapat disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia seperti kewajiban Tuhan
menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan mengirim Rasulrasul-
Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.11
4. Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia
dengan qodrat dan iradat Tuhan, Abu Hasan Ali Bin Ismail al-
Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al-
Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan
Tuhan. Artinya apabila seseorang ingin melakukan suatu
perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan
kehendak Tuhan.
5. Aliran Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya
adalah kemauan Tuhan namun tidak selamanya perbuatan
manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak
menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam aliran
maturidiyah ada 2 unsur: kehendak dan kerelaan.
F. Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan
1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan
bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin bebuat zalim dengan
memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian
mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat
perbuatannya, secara lebih jelas aliran Mu’tazilah mengatakan
bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya
Mu’tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)
سنة ال فى الذين خلوا من قبل ولن تجد لسنة ال تبديل
2. Aliran Asy’ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan,
yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata
adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan yang lain.
Landasan surat al-Buruj ayat 16
فعال لمايريد
3. Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah
samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil
mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan
tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajibankewajiban
hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat
dengan Mu’tazilah.
Adapun maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak ada
yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan
bagi Tuhan. Tampaknya aliran maturidiyah bukhara lebih dekat
dengan asy’ariyah.12
BAB III
KESIMPULAN
kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat
diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan
cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui
yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah
wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan
mengerjakan yang baik.
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak
ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran
kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku
dosa besar.
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan
dengan Mu’tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa
Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping
menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga
menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena
itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya,
bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand,
dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa
segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat
serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap
manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu’tazilah

Dosa Besar menurut Aliran-aliran Islam

Pelaku dosa besar

1. Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
(ومن لم يحكم بما انزل ال فأولئك هم الكافرون )المائدة: 44
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khwarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
2. Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.
3. Menurut aliran Mu’tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar,
Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al manzilah baial manzilataini. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada
diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun
demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
4. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5. Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.
6. Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraca, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin atha’, mempunyai hubungan dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin atho’2.

Stratifikasi Sosial

STRATIFIKASI SOSIAL

  1. Definisi Stratifikasi Sosial

Stratifikasi atau pelapisan sosial diartikan diantaranya sebagai:

The Ranking of people according to their wealth, prestige, or social position.[1] (Ranking masyarakat sesuai dengan kekayaan, prestise/status, atau posisi sosial mereka).

The structured inequalityof accsess to rewards, resources, and privileges that are scarce and desirable within a society.[2] (Ketaksetaraan yang terbentuk dalam hal akses ke penghargaan, sumber daya, dan keistimewaan yang langka dan bermanfaat dalam sebuah masyarakat).

Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan setatus yang dimilkinya.[3]

Pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis).[4]

Penggolongan orang-orang ermasuk dalam suatu sitem sosial tertentu kedalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese, dan prestise/status.[5]

Dari definisi-definisi ini terlihat bahwa stratifikasi sosial mengandaikan adanya lapisan-lapisan vertikal atau kelas-kelas dalam suatu masyarakat yang terstruktur berdasarkan kekayaan, status atau prestise, dan kekuasaan atau posisi sosial. Stratifikasi memilih yang kaya dan yang miskin, yang berposisi tinggi dan yang berposisi rendah, yang berkuasa dan yang lemah.

Terdapat tiga dimensi stratifikasi sosial yang bisa didapati dalam semua masyarakat, yang meliputi: kekayaan, status/kehormatan, dan kekuasaan.[6] Kekayaan mencakup aset-aset ekonomi (mobil, rumah, dan sebagainya) yang bias diuangkan. Kehormatan mencakup atribut-atribut yang mengundang pengakuan, penghormatan, atau penghargaan dari orang lain. Sedangkan kekuasaan mencakup kemampuan individu atau kelompok untuk mengejawantahkan keinginan atau kebijakan, dengan atau tanpa kerjasama orang lain.

Max Weber mengidentifikasiakan tiga sumber kekuasaan yang biasa digunakan untuk memilih orang kedalam strata-strata, yakni kelas sosial, status dan partai. Kelas sosial didasarkan pada beberapa faktor: kekayaan, kekuasaan yang ditimbulkan oleh kekuasan ini, dan kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan. Status sosial adalah penghormatan yang diterima seseorangdari orang lain dalam komunitas. Sedangkan partai adalah organisasi dimana keputusan-keputusan dibuat untuk mencapai tujuan tertentu yang mempengaruhi sebuah masyarakat.[7]

  1. Tipe-tipe Pelapisan Sosial

1. Pelapisan Sosial Tertutup

Sistem ini membatasi kemungkinan seseorang untuk berpindah dari satu lapisan kelapisan lain, baik lapisan atas maupun bawah. Satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota atau warga suatu lapisan tertentu hanyalah melalui kelahiran.

Misalnya: pelapisan pada masyarakat berkasta (contoh: India Kuno) yang terdiri dari kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.

2. Pelapisan Sosial Terbuka

Pada sistem pelapisan ini setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk naik pada pelapisan sosial yang lebih tinggi karena kemampuan dan kecakapannya sendiri, juga bias turun atau jatuh pada pelapisan sosial yang lebih rendah bagi mereka yang tidak cakap dan tidak beruntung.

Misalnya: pelapisan pada masyarakat industri maju atau pada masyarakat pertanian yang telah mengalami gelombang modernisasi.

  1. Mobilitas Sosial

Dalam sosiologi, mobilitas sosial berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial , atau berpindahnya individu atau kelompok dari satu strata tertentu ke strata yang lain. Kondisi seperti ini hanya mungkin dilakukan jika masyarakat menganut sistem masyarakat terbuka, yakni sistem yang memperkenankan anggota masyarakatnya untuk mendapatkan perubahan status dengan cara yang mudah.

Para ahli sosiologi membedakan antara mobilitas intragenerasi dan mobilitas antargenerasi. Mobilitas intragenerasi mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang pada masa hidupnya, misalnya dari status asisten dosen menjadi guru besar. Sedangkan mobilitas antargenerasi mengacu pada perbedaan status yang dicapai seseorang dengan status orang tuanya, miasalnya anak seorang petani miskin yang menjadi seorang insinyur atau sarjana, atau anak seorang mentri yang menjadi pedagang kaki lima.

Perubahan serta perpindahan sosial ini sangat erat kaitanya dengan keahlian yang dimiliki seseorang yang diperoleh melalui jalur pendidikan, makin tinggi seseorang mengenyang bangku pendidikan makin luas pengatahuan serta pengalamannya. Maka secara otomatis jika yang dianut dalam lingkungan sekitarnya itu pelapisan sistem terbuka, ia akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang tidak berpendidikan.

Di dalam agama islam diterangkan bahwa orang yang memiliki keilmuan yang lebih tinggi dari orang lain maka akan diangkat derajatnya menuju suatu kemuliaan, atau dengan kata lain orang yang berpendidikan tinggi akan memiliki status social yang lebih baik. Seperti yang terdapat dalam firman Allah, yang artinya:“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”(Al-Mujadalah: 11)

D. Pendidikan dan hubungan antar kelompok

Menurut penelitian, makin tinggi pendidikan seseorang makin kurang prasangkanya tehadap orang lain, makin toleran sikapnya terhadap golongan minoritas. Karena dalam dalam pendidikan misalkan disekolah, diajarkan hubungan antar-murid dan antar-kelompok, terlebih jika terdapat didalamnya apa yang dianggap golongan minoritas. Berbagai usaha dapat dijalankan untuk memperbaiki hubungan antar-kelompok, walaupun kekuasaan sekolah sering sangat terbatas. Sikap yang berprasangka yang telah tertanam dalam hati masyarakat sangat menghalangi usaha sekolah.

Oleh sebab sekolah terbatas kemampuannya untuk mengubah situasi social, sekolah dapat menggugah nilai-nilai dan sikap anak-anak secara individual, rasa keadilan, rasa keagamaan, yang mengemukakan kesamaan di hadapan Tuhan, lalu melihat nilai-nilai itu dalam hubungannya dengan orang-orang tang dianggapnya rendah, asing, licik, dan sebagainya.

Kebanyakan usaha dalam perbaikan hubungan antar-kelompok mengandung unsure “penggugahan nilai dan sikap” individu, oleh sebab sekolah tidak mampu mengubah keadaan sosial dan prasangka yang telah ada dalam masyarakat. Mungkin cara yang paling sering dilakukan ialah memberikan informasi mengenai hakikat persamaan seperti tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila yang mengemukakan kesamaan manusia bagi Tuhan dan Negara serta berusaha memelihara perdamaian di dunia ini, dan ini hanya mungkin dengan adanya kesamaan hak bagi seluruh umat manusia.

Kita selaku umat islam juga mengakui hakikat persamaan seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalh orang yang bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lgi Maha Mengenal”. (Al-Hujurat: 13)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abu . Drs, Sosiologi Pendidikan. Rineka Cipta

Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Ciputat Press. 2004

H. Gunawan, Ari. Drs. Sosiologi Pendidikan. Rineka Cipta.

Terjemahan Al-Qur’an.



[1] J. Ross Eshleman & Barbara G. Cashion, Sociology: An Introduction Second Edition (Boston: Little, Brown & Company), h.206.

[2] Christopher Bates Doob, Sociology: An Introduction (New York: CBS College Publishing, 1985), h.206

[3] Kamanto Sunarto, Pengantar Sisiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1993), h. 105.

[4] Pitirim A. Sorokin dalam Social and Cultural Mobility sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, Sosisologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajagarafindo Persada, 2006), h. 198.

[5] Robert M.Z. Lawang.

[6] Lihat misalnya Christopher Bates Doob, Sociology, h. 210.

[7] Lihat J. Ross Eshleman & Barbara G Cashion, Sociology, h. 207.